Mengkaji Perempuan Buruh Harian Lepas di Persemaian Permanen Dramaga, Bogor

Wong Desmiwati*  E-mail: desmiwati.wong@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang kinerja perempuan Buruh Harian Lepas (BHL) di salah satu Persemaian Permanen (PP) BPDAS Citarum-Ciliwung, tepatnya di Persemaian Permanen Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perempuan BHL dan menemukan latar belakang pemilihan tindakan perempuan untuk bekerja di persemaian permanen. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif  yang menggunakan metode observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informannya adalah seluruh perempuan BHL persemaian permanen Dramaga. Hasil penelitian ini selain menggambarkan profil perempuan yang bekerja sebagai BHL di PP Dramaga juga menemukan bahwa kinerja perempuan BHL di PP Dramaga dipengaruhi oleh dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi dan tingkat efisiensi buruh perempuan dalam bekerja di persemaian permanen sedangkan faktor eksternal terdiri dari dua komponen yakni dukungan keluarga (suami) dan dukungan dari BPDAS CitarumCiliwung.

 Kata kunci: Perempuan Buruh Harian Lepas, kinerja, persemaian permanen

PENDAHULUAN

Persemaian permanen adalah persemaian yang dibuat menetap pada suatu lokasi dengan organisasi yang mapan dengan personil pelaksana yang tetap dan terpilih, memiliki kelengkapan sarana dan prasarana dengan menggunakan teknologi modern dalam produksi bibit yang memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien(Firmansyah & Alfarisi, 2016). Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung dalam keberhasilan suatu produksi, dalam hal ini di persemaian permanen juga mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Pekerja atau buruh di persemaian permanen dapat diklasifikasikan menjadi:  Pertama, buruh yang berstatus pegawai kontrak atau buruh tetap yang memiliki upah dibayar setiap bulannya dan mendapatkan fasilitas antara lain gaji bulanan, dan fasilitas lainnya, salah satunya kendaraan bermotor;  Kedua, Buruh Harian Lepas (BHL) yakni buruh yang berstatus sebagai buruh harian atau borongan.

Mengangkat soal kehidupan perempuan BHL menjadi hal yang penting dan menarik karena memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan kondisi BHL laki-laki, terutama terkait dengan peran domestik dan tingkat kinerjanya. Perbedaan terkait peran domestik tersebut salah satunya terjadi akibat konstruksi gender di masyarakat, secara umum konstruksi peran gender perempuan adalah mengurus dan mengelola rumah tangga, maka banyak kemudian perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (overburden), bahkan terjadi beban ganda (double burden). Terutama untuk perempuan BHL, beban kerja ini menjadi ganda/dua kali lipat karena selain harus bertanggung jawab dalam keseluruhan pekerjaan rumah tangga (domestik), mereka juga bekerja di luar rumah. Sedangkan perbedaan terkait tingkat kinerjanya terlihat dari mengapa buruh di persemaian permanen sering kali lebih banyak perempuannya. Hal inilah yang akan dijelaskan dalam penelitian ini.

Hasil penelitian terkait perempuan BHL di persemaian permanen bisa dikatakan belum pernah dilakukan sehingga hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dan menjadi bahan masukan bagi pengambil keputusan di persemaian permanen BPDAS yang ada. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perempuan buruh harian lepas, dan menemukan latar belakang pemilihan tindakan perempuan untuk bekerja di persemaian permanen.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PP Dramaga, Kota Bogor pada Desember 2016 dan Februari 2017 terhadap perempuan BHL yang bekerja di PP Dramaga. Pada Desember 2016 perempuan BHL-nya berjumlah enam orang, akan tetapi ketika dilakukan wawancara mendalam pada Februari 2017 jumlah perempuan BHLnya yang sedang dipekerjakan menjadi tiga orang.Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualiatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan datanya dilakukan secara triangulasi (gabungan) analisis data bersifat induktif dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada suatu makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2013). Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan dan untuk pengambilan data menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi, dengan demikian maka peneliti dapat memperoleh data yang lengkap dan mendalam sehingga tujuan penelitian akan dapat tercapai.

Informannya adalah seluruh perempuan BHL di persemaian permanen Dramaga. Jenis penelitian ini juga membuat peneliti lebih masuk ke dalam kehidupan subjek penelitian, karena data-data yang diperoleh secara langsung melalui hubungan antara peneliti dan subjek penelitian. Data yang terkumpul kemudian akan dilakukan analisis deskriptif, yaitu metode analisis yang berusaha menggambarkan masalah secara jelas dan mendalam, yang kemudian dari hasil penggambaran masalah tersebut diinterpretasikan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum PP Dramaga

Lokasi persemaian permanen terletak di kampus IPB Dramaga pada koordinat  06°33,  247‘  Lintang  Selatan dan 106°43, 640’ Bujur Timur. Lokasi ini terletak di antara dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu di DAS Cisadane dan DAS Ciliwung. Curah hujan di  wilayah  Dramaga  berkisar  antara 3 000 – 3 500 mm/tahun. Suhu dan kelembaban (RH) rata-rata sebesar 29oC dan 67%, sedangkan suhu dan kelembaban pada bulan awal Oktober hingga pertengahan Oktober  di daerah persemaian permanen BPDAS Citarum-Ciliwung Bogor menunjukkan kisaran sebesar 28.57oC. Suhu terendah rata-rata sebesar 23.35oC, sedangkan suhu tertinggi sebesar 33.21oC. Kelembaban rata-rata selama 2 minggu pada awal Oktober hingga pertengahan Oktober sebesar 67%. Rata-rata kelembaban tertinggi sebesar 86.78% sedangkan terendah sebesar 42.42% (Departemen Kehutanan, 2010).

Profil Perempuan BHL PP Dramaga

Ketiga perempuan BHL ini yakni Herni (50 thn), Uti (50 thn) dan Heni (30 thn) berasal dari kampung yang sama yakni Carang Pulang, Desa Cikarawang, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Lokasi kampung mereka berada di belakang Persemaian Permanen (PP) Dramaga, dibatasi oleh Sungai Ciapus.

Profil ketiga perempuan BHL di PP Dramaga:

  1. Herni, 50 tahun

Berlatarbelakang dari keluarga buruh tani yang memang bergelut dengan kemiskinan sejak kecil. Sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, membuat tanggung jawab menjaga adik-adiknya yang lebih kecil telah diserahkan kepadanya sejak awal sehingga ia hanya bisa mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai kelas lima. Selanjutnya sehari-hari di rumah dihabiskan dengan menjaga adik-adik, dan mengurus rumah. Menikah pada umur 17 tahun dengan pemuda sekampung yang bekerja serabutan, saat ini Pak Inang, suaminya bekerja menjadi tukang ojeg di seputaran kompleks dosen IPB. Dari perkawinannya, Bu Herni memiliki tiga orang anak, dua laki-laki yang sudah berumah tangga, dan satu orang perempuan yang telah lulus  SMK, belum menikah dan sedang tidak bekerja (sebelumnya sudah bekerja, tapi kemudian keluar dari pekerjaannya). Sebelum menjadi BHL di PP Dramaga, Bu Herni pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok di kostan mahasiswa selama 20 tahun, ketika kostan tersebut berubah menjadi ruko dan ia mendapat ajakan untuk bekerja sebagai BHL borongan di PP Dramaga, ia memilih ikut dan terus berlanjut hingga saat ini. Sebelumnya ia BHL borongan yang jika sudah selesai tergetnya kemudian “libur” dulu beberapa waktu, namun sekarang karena ia di diberi tanggung jawab lebih kepada pemeliharaan maka ia tidak lagi diliburkan, melainkan bekerja secara rutin untuk memelihara seluruh bibit di PP Dramaga.

2. Uti, 50 tahun

Bu Uti anak kedua dari tujuh bersaudara. Secara ekonomi keluarga Bu Uti agak lebih baik dibanding dua rekannya, karena bapaknya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai mandor petani di IPB, dan ibunya bekerja sebagai buruh tani. Tetapi Bu Uti kecil belum merasakan enaknya status ayahnya karena pada saat itu ayahnya masih sebagai pegawai kontrak sehingga ia sangat terlambat masuk SD dan hanya sampai kelas 2 saja karena umurnya sudah hampir 15 tahun, ini akhirnya yang membuatnya malu untuk melanjutkan sekolah. Berbeda dengan adik-adik di bawahnya yang mengenyam pendidikan sampai SLTP. Pada umur 19 tahun ia menikah dengan seorang buruh pabrik sendok dari Pesing, Cengkareng, Tangerang dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Suaminya kemudian pindah ke Bogor karena terkena penggusuran pada tahun 2000. Dengan memanfaatkan tanah pemberian orang tua mereka membangun rumah. Bu Uti juga sebelum bekerja di PP Dramaga bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah satu rumah dosen IPB selama hampir empat tahun, ketika dosennya pindah, ia beralih menjadi buruh cuci gosok di kostan mahasiswa selama 16 tahun. Ketika mendapat ajakan untuk bekerja di PP Dramaga, ia ikut dan berlanjut sampai sekarang. Kehidupannya saat ini jauh lebih baik karena suaminya juga bekerja sebagai pegawai kontrak di salah satu laboratorium di IPB, dan tidak ada tanggungan anak lagi karena masing-masing sudah berkeluarga.

3. Heni, 30 tahun

Heni anak ke tiga dari empat bersaudara. Ia dan dua orang kakak perempuannya terlambat tamat dari SLTP, keinginannya untuk melanjutkan sekolah sangat besar karena juga berprestasi secara akademik di sekolah, namun karena ketiadaan biaya- karena orang tuanya hanya buruh tani- akhirnya karena ia (sebagai perempuan.pen) harus mengalah tidak melanjutkan sekolah dan harus bekerja membantu ekonomi keluarga dan sekolah adik laki-lakinya hingga bisa menamatkan SMA. Menikah di usia 22 tahun dengan seorang buruh pabrik benang di Cibinong dan dikaruniai satu orang putri yang telah berumur 7 tahun (kelas 2 SD). Awalnnya ia bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Cibinong, pada bagian packing selama sembilan tahun dan sudah menjadi karyawan tetap sampai ia menikah. Ketika cuti melahirkan ia kemudian berhenti dan tidak melanjutkan pekerjaannya, karena bekerja di pabrik membutuhkan waktu dan tenaga yang besar, serta lokasi pabriknyapun jauh dari rumah. Selanjutnya ia juga pernah bekerja di rumah makan selama dua tahun, namun ketika diajak untuk bekerja di PP Dramaga, ia lebih memilih bekerja di PP Dramaga, walaupun ia harus belajar dari awal karena pekerjaan baru dan kadang-kadang masih diliburkan bila target sudah tercapai.

Faktor-fator yang Mempengaruhi Kinerja Perempuan BHL di PP Dramaga

Skema

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja perempuan BHL di persemaian permanen Dramaga dapat digambarkan dengan skema sebagaimana di atas.

  1. Tingkat motivasi kerja

Motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar imbalan moneter dan non-moneter yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan (Winardi, 2007). Kemiskinan sering kali menjadi faktor pendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah. Ketika perempuan bekerja mencari penghasilan di luar namun tetap mengerjakan kerja-kerja rumah tangganya maka beban ganda itu menjadi nyata. Menurut Sajogyo (1983) dalam Munawaroh  (2015)  peranan perempuan dapat dianalisis dalam dua cara yaitu: Pertama, dalam status atau kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari proses reproduksi yaitu suatu pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan pendapatan tetapi memungkinkan anggota rumah tangga yang lain untuk melakukan pekerjaan mencari nafkah; Kedua, pada posisi sebagai pencari nafkah (tambahan atau pokok), perempuan melakukan pekerjaan produktif yang langsung menghasilkan pendapatan. Pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, dan mengambil air sebaiknya diperhitungkan sebagai sebagai kegiatan ‘pekerja’ dalam arti kata yang produktif. Pekerjaan ini, meski bukan berarti ‘penghasilan’, tetapi mempunyai fungsi memberi dukungan bagi anggota rumah tangga lain ‘pencari nafkah’ untuk memanfaatkan peluang kerja (Munawaroh. et al, 2015).

Ketiga perempuan BHL di PP Dramaga ini sudah pernah malang melintang bekerja baik di sektor informal (buruh cuci gosok, pembantu rumah tangga, buruh tani) maupun sektor formal (buruh pabrik garment-Heni). Bagi mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan adalah kebutuhan, tidak saja hanya karena materil tetapi juga psikologisnya, karena jika sedang tidak bekerja mereka malah bingung mau melakukan apa di rumah. Oleh karena itu mereka selalu berusaha untuk mencari pekerjaan apa saja di luar rumah.

Tingkat motivasi kerja perempuan BHL ini sangat tinggi, hal tersebut terlihat dari penuturan mereka mengenai tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan anak, apalagi untuk Bu Herni dan Bu Uti yang sudah tidak mempunyai tanggungan anak sekolah, mereka bahkan bisa menabung melalui arisan atau menitip ke rekening temannya di bank. Menyimpan uang dalam bentuk emas juga menjadi strategi mereka, agar ketika ada keperluan gampang untuk dijual kembali. Tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam menumbuhkan tanaman  tercermin dari rasa puas, bangga dan senang ketika tanaman tersebut tumbuh, ditambah lagi jika terdapat pengakuan dari balai yang mereka rasakan karena targetnya tercapai. Selain hal tersebut,  yang menunjukkan motivasi perempuan BHL ini tinggi adalah adanya kompetisi yang sehat di antara perempuan BHLnya, persaingan ada namun masih sehat dan wajar, karena pada akhirnya ketika harus mengejar target yang semakin besar maka akan melibatkan mereka semua, bahkan lebih banyak perempuan BHL lagi. Mereka yang baru memulai atau yang sudah pernah ikut tapi bagiannya berbeda (sarana dan prasarana) tidak segan untuk mau belajar lagi, melakukan hal baru untuk menambah ilmu. Adanya intensitas hubungan sosial sesama perempuan BHL yang baik terlihat dari kemudahan mereka menjalin komunikasi, kemudahan untuk mendapatkan informasi dari perempuan BHL yang lain (terutama soal kapan dipanggil lagi), dan merasakan pentingnya melakukan belajar bersama-sama, membuat tingkat motivasi bekerja di PP Dramaga  menjadi lebih kuat dan intens dibanding BHL laki-lakinya.

  1. Efisiensi Kerja antara Laki-laki dan Perempuan

Sebagian besar perempuan yang bekerja di luar kegiatan rumah tangga, lebih banyak memilih untuk bekerja di sektor pertanian, baik itu sebagai buruh tandur (tanam) untuk usaha tani, buruh panen atau buruh sadap (Munawaroh. et al, 2015). Pada persemaian permanen memang tidak secara tertulis dan ketat terdapat pembagian kerja antara BHL laki-laki dan perempuan, akan tetapi lebih kepada kesepakatan bersama saja. Di PP Dramaga ini perempuan BHL melakukan kerja-kerja seperti penyiapan media tanam, penyemaian, penyapihan, pemupukan dan pemeliharaan bibit. Dari keseluruhan tempat bekerja yang pernah dilakukan, bekerja di PP Dramaga ini adalah yang dirasakan paling baik dan lumayan (nyaman), karena mereka memiliki jam kerja yang jelas yakni dari jam 08.00 – 16.00 WIB dengan waktu istirahat satu jam untuk makan siang dan sholat. Bekerja selama enam hari dari Senin hingga Sabtu, hari Minggu dimanfaatkan sebagai hari keluarga. Ini dirasa lebih baik dibanding misalnya bekerja di rumah makan yang tidak memiliki hari libur. Dengan upah sebesar Rp.50.000 perhari, pendapatan yang mereka terima dapat membantu ekonomi keluarga, terkadang bahkan menjadi pendapatan utama ketika suami sedang tidak bekerja. Selain itu bekerja di PP Dramaga dirasakan tidak terlalu penat secara pikiran, walaupun secara fisik bekerja seperti menanam, menyemai, menyapih, memupuk, memelihara dan lain sebagainya, akan tetapi karena suasana kerja yang kondusif, kekeluargaan yang dirasakan sangat kuat baik antar sesama pekerja maupun dengan atasannya, yakni mandor lapangan, sehingga ini menjadi penarik untuk tetap bekerja.

Keterbatasan mereka sebagai BHL adalah ada masa-masa ketika mereka sedang tidak dipekerjakan, “diliburkan” istilahnya, kadang-kadang cepat terkadang bisa menunggu hingga tiga bulan baru ada panggilan lagi, tergantung pada ada borongan atau tidaknya dari BPDAS Citarum-Ciliwung, dan mereka akan bekerja dengan target atau borongan. Akan tetapi dua orang perempuan BHL yakni Bu Uti dan Bu Herni terus dipertahankan karena merekalah yang rutin melakukan pemeliharaan tanaman, untuk Teh Heni saja baru lima hari bekerja lagi setelah satu bulan diliburkan, inilah yang terkadang menimbulkan kecemburuan bagi sesama perempuan BHL, siapa yang akan tetap bekerja dan siapa yang akan diliburkan. Terlepas dari itu memang performa kerja para perempuan BHL juga diperhatikan, kedisiplinan, kecepatan kerja tetap menjadi penilaian mandor untuk menentukan siapa-siapa yang masih tetap diteruskan bekerjanya. Kecuali jika ada target besar yang harus dipenuhi, maka pihak PP Dramaga bisa mempekerjakan perempuan BHL hingga 20 orang.

Bekerja di PP Dramaga memberikan ilmu baru, pengalaman baru dan pekerjaannya cukup bervariasi. Kecintaan terhadap tanaman dan kepuasan ketika melihat benih yang disemai tumbuh dan berkembang menjadi bibit siap pakai adalah kepuasan yang tidak dapat dinilai dengan materi. Bekerja dari hati dan mencintai pekerjaannya menjadi hal yang membuat mereka tidak ingin berpindah pekerjaan lagi. Keterlekatan perempuan BHL dalam melakukan produksi bibit (tanaman) menjadi pembuktian bahwa ketika perempuan diasumsikan lebih rajin, telaten dan bertanggung jawab terhadap tanamannya, hal tersebut memang dikuatkan dengan insting merawat dan memeliharanya yang lebih.

Berdasarkan hasil penelitian memang terdapat perbedaan yang cukup siginifkan dari segi pemanfaatan waktu ketika kerja-kerja pokok di persemaian permanen dikerjakan perempuan BHL dibanding laki-laki. Perempuan BHL mulai bekerja dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB, dengan waktu istirahat selama satu jam, total jam kerjanya adalah 7 jam kerja di luar 1 jam waktu istirahat, dilakukan dengan bekerja secara penuh, tidak ada istirahat di sela-sela jam kerja tersebut sedangkan untuk BHL laki-laki, di sela-sela waktu kerja mereka masih membutuhkan istirahat untuk minum kopi, merokok, dan membuka-buka telpon seluler mereka sehingga rata-rata jam kerja secara riil lebih sedikit jam kerjanya. Secara akumulasi jam kerja perempuan BHL lebih panjang dibanding laki-laki, tentu saja hal ini berdampak pada kinerja perempuan BHL yang saya nilai lebih optimal. Hal tersebut tentunya berdampak bagi kinerja PP Dramaga sendiri sehingga penggunaan tenaga kerja perempuan BHL di persemaian permanen akan lebih efisien.

Satu aspek lain yang mendukung tingkat efisiensi kinerja perempuan yang terlihat pada saat wawancara dan observasi kerja mereka adalah adanya keterlekatan yang subyektif antara perempuan dan bibit yang mereka semaikan. Perempuan BHL bisa dikatakan menikmati jenis pekerjaan di PP Dramaga yang notabene identik dengan peran-peran alamiah mereka di sektor domestik yakni merawat anak. Peran ini bukan saja menjadi peran yang terjadi sebagai hasil kontruksi melainkan pemaknaan subyektif mereka atas diri mereka sebagai caregiver atau pengasuh. Tentunya aspek ini masih dapat dikembangkan lebih dalam dengan beberapa alat uji namun dari amatan dan wawancara terlihat bahwa secara pribadi ada hubungan antara perempuan BHL dan bibit yang mereka semaikan. Adanya perasaan senang ketika bibit-bibit itu berhasil tumbuh besar mengindikasikan adanya keterlekatan (embeddedness) antara produsen dan hasil produksi. Dari sini dapat dinilai bahwa efisiensi kerja perempuan juga memiliki rasionalitas dimana tindakannya memiliki makna tertentu dan dengan sengaja ditujukan untuk tujuan tertentu. Di sini perempuan merekonstruksi pemaknaan mereka sehingga menghasilkan tindakan yang tak semata mekanis berdasar perintah kerja melainkan secara sadar dan penuh makna (meaningful).

  1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ternyata sangat berpengaruh terhadap kinerja perempuan BHL di PP Dramaga. Faktor eksternal yang berupa dukungan dari keluarga (suami) dirasa menjadi penting, karena ketika peran domestik tidak bisa dilakukan perempuan BHL secara penuh, maka ada bagian peran domestik yang dilakukan suami, seperti menjaga anak dan membersihkan rumah. Ketika suami mereka sedang tidak bekerja, suamilah yang mengambil tanggung jawab kerja domestik di rumah, walaupun tidak seluruhnya, karena perempuan BHL akan mempersiapkan keperluan rumah tangga sebelum mereka berangkat kerja, seperti memasak dan mencuci. Dari hal tersebut dapat dilihat kinerja perempuan BHL ini akan baik bila didukung oleh suami mereka, karena mereka tidak lagi terlalu diberatkan oleh kerja-kerja domestiknya.

Peningkatan kinerja perempuan BHL ini juga baik karena adanya dukungan organisasi, dalam hal ini BPDAS Citarum Ciliwung. Menurut Matthis (2006) dalam (Logahan, et al., 2012), dukungan organisasi merupakan apa saja yang diberikan dan ditetapkan organisasi untuk menunjang proses kerja. Beberapa dukungan organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan, antara lain: (1) pelatihan, sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujaun organisasional. Dalam penelitian ini, pelatihan kepada perempuan BHL dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang spesifik dan dapat diidentifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan di PP Dramaga; (2) standar kinerja, mendefinisikan tingkat yang diharapkan dari kinerja, dan merupakan tujuan atau target. Standar kinerja yang realistis, dapat diukur, dipahami dengan jelas, akan bermanfaat baik bagi organisasi atau buruhnya. Adanya target jumlah yang jelas, pertumbuhan bibit yang bisa terlihat dan prosedur yang mudah dipahami oleh para perempuan BHL; (3) peralatan dan teknologi, merupakan perlengkapan yang disediakan oleh organisasi untuk menunjang proses kerja. Untuk poin ini pihak PP Dramaga memang tidak terlalu mencukupi ketersediaannya, untuk perempuan BHL mereka memiliki sendiri peralatan pendukung pekerjaannya seperti sepatu boot, caping, dan pisau untuk mencabut rumput sedangkan untuk sarana dan prasarana yang besar telah disediakan oleh balai.

Dukungan dari organisasi dapat juga berupa suasana kerja yang kondusif, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan serta rekan-rekan kerja yang mendukung. Kedua faktor eksternal tersebut cukup baik di PP Dramaga, sehingga berpengaruh secara positif pula bagi peningkatan kinerja perempuan BHLnya. Faktor eksternal yang mendukung, akan berdampak pada kinerja perempuan BHL yang baik juga.

  1. Kinerja Perempuan BHL

Dari beberapa pengertian mengenai kinerja dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dilakukan oleh individu atau organisasi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (Logahan, et al., 2012). Menurut Robert dan John (2006) dalam Logahan, et al. (2012), kinerja yang umumnya untuk kebanyakan pekerja meliputi elemen sebagai berikut: Kuantitas dari hasil, Kualitas dari hasil, Ketepatan waktu dari hasil dan Kemampuan bekerja sama.

Dilihat dari kuantitas yang mencapai bahkan melebihi target, kualitas tanaman yang tumbuh dengan baik, ketepatan waktu dalam mencapai target dan kerjasama antara sesama BHL yang baik membuktikan bahwa kinerja perempuan BHL di PP Dramaga sangat baik. Menurut Danim (2004) dalam Witantriasti (2010)  faktor internal dapat disebut sebagai akumulasi dari aspek-aspek internal individu, seperti kepribadian, intelegensi, ciri-ciri fisik, kebiasaan, kesadaran, minat, bakat, kemauan, spirit dan sebagainya. Faktor eksternal bersumber dari lingkungan, apakah itu lingkungan fisik, sosial maupun regulasi keorganisasian. Faktor internal dan eksternal tersebut bertinteraksi dan diaktualisasikan dalam bentuk kapasitas yang mendukung kinerja individu.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kinerja perempuan BHL di PP Dramaga dipengaruhi oleh dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh motivasi dan tingkat efisiensi buruh perempuan dalam bekerja di persemaian permanen. Dalam faktor eksternal terdapat dua komponen yang mempengaruhi kinerja perempuan BHL yakni faktor dukungan keluarga (suami) dan dukungan dari BPDAS Citarum Ciliwung. Jika ke-empat faktor ini bersifat positif dan mendukung perempuan BHL maka dipastikan bahwa kinerja mereka akan baik dan optimal, sehingga akan berdampak  pula pada kinerja PP Dramaga dan BPDAS Citarum Ciliwung secara keseluruhan.

KESIMPULAN DAN SARAN

 Lebih banyaknya perempuan yang bekerja sebagai BHL di persemaian permanen ternyata didukung oleh temuan penelitian ini bahwa perempuan BHL di PP Dramaga memiliki performa kinerja yang sangat baik karena mereka memiliki motivasi dan tingkat efisiensi yang baik dalam bekerja, ditambah dukungan dari keluarga (suami) dan PP Dramaga (BPDAS Citarum-Ciliwung) membuat kinerja mereka menjadi lebih optimal. Dilihat dari hal yang melatarbelakangi perempuan BHL dalam bekerja di PP Dramaga maka tindakan yang mereka ambil sangat rasional karena bekerja di PP Dramaga lebih baik dari segala aspek dibanding pekerjaan mereka yang sebelumnya.

Oleh karena itu, jika BPDAS Citarum-Ciliwung selaku pengelola PP Dramaga ingin meningkatkan performa persemaian permanennya bisa dengan mempekerjakan lebih banyak perempuan BHL karena secara kinerja mereka lebih efisien dan optimal sementara untuk BHL laki-laki mereka akan menjadi supporting system yang baik untuk mendukung kerja-kerja perempuan BHL di persemaian permanen.

DAFTAR PUSTAKA 

Departemen Kehutanan. (2010). Statistik Pembangunan Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung Tahun 2009. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Bogor.

Firmansyah, M. A., & Alfarisi, M. H. (2016). Pathogenic Assay of Leaf Blight Pathogen on Maesopsis eminii Engl. in Permanent Nursery BPDAS Bogor UJI PATOGENISITAS PATOGEN HAWAR DAUN PADA TANAMAN KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.) DI PERSEMAIAN PERMANEN BPDAS BOGOR. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(2).

Logahan, J., A.S., Synthia., Dian, Marisa. (2012). Analisis Pengaruh Kemampuan, Usaha dan Dukungan Perusahaan Terhadap Kinerja Karyawan Pada CV Sandang Gloria Konveksindo. Binus Business Review Vol.3 No.1, Mei 2012, halaman 311-324.

Munawaroh, M., & Awami, S. N. (2015). KARAKTERISTIK BURUH WANITA PENYADAP KARET SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN RUMAH TANGGANYA (Studi Kasus Di PTPN IX Kebun Balong/Beji-Kalitelo Afdeling Ngandong Kabupaten Jepara). MEDIAGRO, 11(1).

Saragih, N. K. S. (2013). PROFIL PEREMPUAN SEBAGAI BURUH HARIAN LEPAS (MENOL) DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV SEI KOPAS, KECAMATAN BANDAR PASIR MANDOGE, KABUPATEN ASAHAN (Doctoral dissertation, UNIMED).

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Winardi. J. (2007). Motivasi dan Pemotivasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Witantriasti, T. (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.

 

 

Modal Sosial Petani Penggarap Hutan Penelitian Parungpanjang (The Social Capital of Labour-Farmer of Parungpanjang Research Forest)

ABSTRACT

The existence of labour farmer in Research Forest (Hutan Penelitian/HP) Parungpanjang gave positif impact on HP’s management, on the other side the socio-economic condition of the farmer-labour is a foundation for the formation of social structure and interaction to build social capital. This qualitative research gathers information through interviewing the farmer-labour in HP Parungpanjang, village government, and community figures and supported with questionairre and obeservation on the field during April-August 2017. The result of the study shows that the social capital of the farmer-labour is low, indicated by social norm grows but weak, the mutual resiprocity is low as well as the application of collective value. Regarding to that the empowering effort can not merely operated on the material incentive based on caritative approach nor incentive for land-based production, it is required to develop the collective work ethos, this can be statted from the village unit. The absence of non-formal leadership base on the farmer-labour groups must be solved by finding dan solidification to buid the stronger farmer-labout’s social capital ahead.

 Keywords: labour-farmer, social capital, empowerment

ABSTRAK

Keberadaan petani penggarap pada Hutan Penelitian (HP) Parungpanjang berdampak positif pada pengelolaan HP sementara di sisi lain kondisi sosial ekonomi petani penggarap menjadi hal dasar bagi terbentuknya struktur sosial dan interaksi sosial dalam membentuk modal sosial di masyarakat. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara pada petani penggarap HP Parungpanjang, perangkat desa, dan tokoh masyarakat menggunakan kuesioner dan pengamatan (observasi) lapangan selama bulan April-Agustus 2017. Hasil penelitian menunjukkan modal sosial petani penggarap HP Parungpanjang memang rendah, dilihat dari norma yang berkembang memang ada tetapi lemah, jaringan yang tidak berkembang, tingkat kepercayaan cukup baik namun lemah, hubungan resiprocity yang lemah dan nilai-nilai yang ada juga rendah. Untuk itu pemberdayaan petani penggarap HP Parungpanjang memang tidak cukup dilandaskan pada pemberian bantuan material berdasarkan semangat belas kasihan (karitatif) atau bantuan produksi berbasis lahan semata melainkan harus juga mempertimbangkan penguatan semangat kerja kolektifnya dan hal itu bisa dimulai dari kelompok masyarakat paling bawah yaitu tingkat kampung. Tidak adanya basis kepemimpinan non formal pada kelompok petani penggarap juga menjadi hal yang harus ditemukan dan kuatkan untuk menguatkan modal sosial petani penggarap ke depannya.

Kata kunci: Petani penggarap, modal sosial, pemberdayaan

PENDAHULUAN

Keberadaan petani penggarap di HP Parungpanjang telah membawa dampak positif dalam pengelolaan HP Parungpanjang dengan terjaganya kawasan hutan dan berjalannya pemanfaatannya sehingga memberikan manfaat bagi penggarap secara sosial ekonomi. Dari pihak petani bersangkutan pun persepsi petani penggarap terhadap pengelolaan HP Parungpanjangpun dikategorikan sangat baik (Desmiwati, 2016).

Dalam melihat dinamika petani penggarapnya maka tidak bisa lepas dari kondisi sosial ekonomi mereka karena kondisi sosial ekonomi ini menjadi salah satu faktor yang menjadi dasar dalam proses interaksi sosial. Interaksi sosial menurut Soekanto merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-orang perorang, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorang dengan kelompok manusia, jadi interaksi sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak bersama-sama secara sadar dalam mewujudkan harapan dari masing-masing p ihak terhadap satu sama lain (Lawang, 2004).

Kelompok manusia tidak secara otomatis membentuk komunitas, komunitas sejati diikat bersama oleh nilai-nilai, norma-norma, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama diantara para anggotanya, sehingga akan terbentuk interaksi sosial dan kebudayaan  yang selanjutnya membentuk modal sosial (Fukuyama, 2001). Kesatuan analisis dalam kajian sosiologi tentang modal sosial adalah struktur sosial. Struktur sosial akan membicarakan tentang suku bangsa yang hidup dalam komunitas kecil, sedang atau besar. Jadi berbicara soal modal sosial tentu akan membahas konsep komunitas dan hubungannya dengan satuan tempat tinggal, struktur sosial dan keluarga.

Pemanfaatan modal sosial dalam mengatasi pelbagai masalah sosial dalam masyarakat telah banyak dipelajari dengan melihat bagaimana suatu masalah sosial muncul dalam masyarakat, mempengaruhi masyarakat, dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Modal sosial didefenisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Jadi dalam membahas modal sosial kita akan membicarakan tiga hal utama yaitu trust (kepercayaan), social networking (jaringan) dan social norm (norma sosial) (Fukuyama, 2001).

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui modal sosial yang ada di petani penggarap HP Parungpanjang sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengelolaan HP Parungpanjang ke depannya menyangkut keberlanjutan dan pemberdayaannya.

METODE PENELITIAN

1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di HP Parungpanjang dan Kampung Babakan, Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor pada bulan April, Juni dan Agustus 2017.

2. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek alamiah yang berkembang apa adanya, tidak dimanupulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Menurut Sugiyono (2013), dalam penelitian kualitatif peneliti adalah instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi, analisis data bersifak induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi. Metode studi kasus dipergunakan dengan tujuan untuk mendapatkan kajian yang mendalam, terperinci, dan menyeluruh terhadap objek penelitian yang biasanya relatif kecil (Umar, 2008).

3.Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan petani penggarap, perangkat desa, dan tokoh masyarakat, observasi, dan kajian dokumentasi terhadap berbagai dokumen yang relevan dengan tema penelitian. Data hasil wawancara, observasi dan data hasil kajian dokumentasi dikelompokkan dan diolah dengan analisis deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Penelitian Parungpanjang

Hutan Penelitian (HP) Parungpanjang merupakan Hutan Penelitian yang dikelola Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPPTPTH) yang terletak di Kecamatan Parungpanjang dan Tenjo, sekitar 70 Km dari Kota Bogor.  Memiliki luas 134,24 Ha, HP Parungpanjang ini merupakan areal uji lapang hasil-hasil penelitian teknologi perbenihan, pengembangan sumber benih, dan konservasi plasma nutfah. Dari total luasan tersebut, seluas 48,23 Ha telah dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian. Pada lahan untuk penelitian tersebut, selain terdapat tumbuhan/pohon penelitian juga terdapat tanaman milik petani penggarap dengan sistem tumpangsari.

Saat ini terdata sebanyak 120 orang petani penggarap telah menjadi bagian HP Parungpanjang selama dua tahun terakhir. Jenis tanaman tumpangsarinya tidak banyak variasi, antara lain padi gogo (sekitar November dan panen Maret) yang dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri, lengkuas yang baru bisa dipanen setelah satu tahun, sereh, kacang tanah, kentang kecil dll dengan durasi panen sekitar 4-5 bulan. Melihat sangat kecilnya peluang mendapatkkan penghasilan dari lahan garapan tersebut maka strategi yang mereka lakukan adalah melakukan pekerjaan lain (serabutan). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan data bahwa 43,48% atau sebanyak 60 orang petani penggarap adalah buruh harian lepas sehingga jika sedang ada pekerjaan lain mereka tidak menggarap lahannya namun setelah selesai pekerjaan mereka akan kembali menggarap lahannya (Desmiwati, 2016).

Bagi petani penggarap perempuan, selain siang hari ikut menggarap lahan, sore dan malam hari digunakan untuk menganyam bambu membuat boboko, ini dilakukan guna mendapat tambahan penghasilan untuk makan sehari-hari. Dalam seminggu satu orang perempuan bisa menghasilkan 7-10 buah boboko berukuran kecil, sedang maupun besar. Dengan modal Rp.20.000,- untuk membeli satu buah bambu berukuran besar bisa menghasilkan sepuluh buah boboko berukuran sedang yang akan dijual ke penampung seharga Rp.7.000,- perbuah, sehingga akan mendapatkan uang sebesar Rp.70.000,-, dikurangi modal membeli bambu maka uang yang didapat dalam seminggu hanya Rp. 50.000,-. Walaupun hasilnya sangat kecil, tidak memadai dan membutuhkan waktu dan energi yang cukup besar untuk membuat boboko namun kegiatan ini tetap dilakukan perempuan petani penggarap HP Parungpanjang karena penghasilan inilah yang mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Desa Tapos, Kecamatan Tenjo adalah salah satu desa yang berbatasan langsung dengan HP Parungpanjang. Letak geografis Desa Tapos Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Batok, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Barengkok, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciomas dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pangaur. Luas wilayah Desa Tapos 610,135 ha dengan jarak dari ibukota kecamatan 19 km dari ibukota kabupaten 54 km, jarak dari ibukota propinsi 167 km dan dari ibukota negara 65 km. Berdasarkan penggunaan lahan di wilayah Desa Tapos seluas 610,135 ha dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data Potensi Desa dan Pemanfaatan Lahan Di Desa Tapos

No Jenis Lahan Luas (ha) Persentase (%)
1 Pemukiman 47 7,70
2 Persawahan 165 27,05
3 Perkebunan 230 37,70
4 Kuburan 8 1,31
5 Pekarangan 150 24,59
6 Perkantoran 5 0,81
7 Prasarana umum lainnya 5,135 0,81
Jumlah 610,135 100%

Sumber: Statistik Desa Tapos, 2017

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa pemanfaatan lahan terbesar adalah untuk perkebunan yaitu 230 ha dan yang terkecil adalah pemanfaatan untuk perkantoran yaitu 5 ha. Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh keadaan fisiologi daerah yang mendukung penduduk Desa Tapos untuk bertani/kebun. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Tapos dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Desa Tapos

No Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)
1 Laki-laki 3.872 50,30
2 Perempuan 3.826 49,70
Jumlah 7.698 100%

Sumber: Statistik Desa Tapos, 2017

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di Desa Tapos yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding dengan yang berjenis kelamin perempuan, namun selisihnya amat tipis. Jumlah penduduk yang ada tersebut merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan pertanian/perladangan sebagai sumber tenaga kerja.

Penduduk Desa Tapos pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan rendah. Dalam hal ini bisa menunjukkan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan masih kurang. Tingkat perekonomian penduduk suatu daerah diindikasikan salah satunya oleh mata pencaharian penduduknya. Menurut data statistik Desa Tapos 62% penduduknya menggantungkan diri pada mata pencaharian pertanian/perladangan/buruh tani, dengan jumlah total kepala keluarga petani sebanyak 1000 KK. Peruntukan lahan untuk persawahan tadah hujan sebesar 150 ha, dan sawah irigasi ½ teknis seluas 15 ha dan untuk perladangan/perkebunan seluas 230 ha. Sementara itu, struktur kepemilikan lahan yang terbanyak adalah yang memiliki lahan kurang dari 1 ha yaitu sebanyak 700 KK, kemudian yang tidak memiliki lahan pertanian/buruh tani 250 KK. Sebanyak 59 orang warga Desa Tapos yang berasal dari Kampung Babakan (Dusun III) adalah petani penggarap HP Parungpanjang.

Modal Sosial pada Petani Penggarap HP Parungpanjang

Modal sosial menunjuk pada segi-segi organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma-norma, dan jaringan sosial yang dapat memfasilitasi tindakan kolektif. Modal sosial ditekankan pada kebersamaan masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup bersama dan melakukan perubahan yang lebih baik serta penyesuaian terus-menerus (Kusumastuti, 2015).

  1. Norma

Petani penggarap percaya terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat karena mereka percaya bahwa dengan adanya norma maka akan mengatur kehidupannya sehingga akan tercipta ketertiban. Salah satu bentuk norma yang paling dirasakan adalah peraturan. Dalam mengelola lahan garapan mereka semua mengetahui bahwa terdapat aturan, ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan pada lahan garapan, dan mereka juga mengetahui bahwa jika ada yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan sanksi bahkan yang terberat yakni tidak boleh lagi menggarap lahannya. Hal ini disadari sekali oleh petani penggarap sehingga sebisa mungkin mereka akan menaati peraturan yang ada. Ini sejalan dengan norma yang berlaku di masyarakat, norma sosial bersifat mengikat ke dalam, sehingga jika terdapat penyimpangan norma dalam masyarakat maka sanksinya akan disalahkan oleh masyarakat umum, ini adalah bentuk kontrol sosial yang efektif. Ia tidak tertulis, namun menjadi panduan untuk menentukan apa pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat (Syahyuti, 2008).

Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Blau dalam Fukuyama 1999), artinya, kalau dalam pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Kalau dalam pertukaran pertama keduanya saling menguntungkan maka akan muncul pertukaran kedua, dengan harapan akan memperoleh keuntungan pula. Jika telah terulang beberapa kali dan prinsip saling menguntungkan dipegang teguh, maka dari situlah muncullah norma dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak merasa diuntungkan dari pertukaran (Lawang, 2004). Bentuk norma inilah yang ada antara petani penggarap HP Parungpanjang dan BP2TPTH selaku pengelola HP Parungpanjang, dimana BP2TPTH mendapatkan manfaat dari petani penggarap dengan terpeliharanya lahan di bawah tegakan pohon penelitian, dan petani penggarap mendapat manfaat dari BP2TPTH dengan memiliki akses produksi beruapa lahan garapan sebagai sumber penghasilan.

Norma juga bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Dalam konteks ini, orang yang melanggar norma resiprokal yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang keras. Jaringan yang terbina lama dan menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan, yang melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras (Lawang, 2004).

  1. Jaringan

Modal sosial tentang jaringan pada petani penggarap HP Parungpanjang terindikasi rendah, karena mereka tidak memiliki jaringan di luar kelompok mereka sendiri. Namun memang ada beberapa anggota petani penggarap yang juga menjadi anggota kelompok tani lain di desanya, seperti Pak Encep yang menjadi anggota kelompok tani Harapan Baru pimpinan Pak Basyir di Kampung Babakan. Kelompok tani Harapan Baru inilah yang aktif berjaringan di luar hingga ke tingkat kabupaten namun sangat sedikit petani penggarap yang ikut bergabung dan terlibat aktif di jaringan kelompok tani lain.

Sementara itu, interaksi antara ketua kelompok tani petani penggarap dengan anggotanya di sendiri tidak berjalan aktif dan tidak dinamis, ketua kelompok hanya sesekali memberikan informasi kepada anggota untuk berkumpul di pendopo balai di HP Parungpanjang jika ada kegiatan. Jika tidak ada undangan dari balai, maka tidak ada dinamika dalam kelompok taninya, tidak juga melakukan saling bertukar informasi dan pengetahuan tentang pemeliharaan dan perkembangan pertanian mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasbullah (2006) yang menyatakan bahwa jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan, pengalaman-pengalaman sosial turun temurun dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan cenderung memiliki kohesifitas bertingkat, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit.

  1. Kepercayaan

Modal sosial tentang kepercayaan pada petani penggarap HP Parungpanjang termasuk sedang. BP2TPTH memang telah memberikan kepercayaan kepada petani penggarap untuk mengolah lahan di bawah tegakan tanaman penelitian dengan harapan hal tersebut akan membantu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Akan tetapi melihat hasilnya dalam dua tahun terakhir ini dimana tidak banyak perubahan yang signifikan pada kondisi perekonomian mereka membuat mereka tidak bisa menggantungkan harapannya hanya pada lahan di bawah tegakan jika ingin mengangkat status sosialnya. Mereka harus memikirkan cara lainnya, akan tetapi selagi itu belum terjadi mereka masih tetap berharap untuk terus menggarap lahannya. Kepercayaan antar petani penggarap cukup rendah, akan tetapi antara kelompok tani Harapan Baru dengan para petani di Kp Babakan Desa Tapos, masih sedikit memiliki kepercayaan yang lebih merupakan bentuk tolong menolong, misalnya dengan memberikan bantuan bibit kepada petani lainnya yang memerlukan, walaupun bukan anggotanya, sehingga ia tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli bibitnya, atau meminjamkan bibit dengan perjanjian setelah panen akan mengganti bibit yang dipinjam sebelumnya. Ada rasa saling percaya antar sesama petani, hal ini terjadi tidak lepas dari kepemimpinan non formal (ketua kelompok tani Harapan Baru) yang telah lama dipegangnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fukuyama (1995) yang menyatakan bahwa trust atau kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.

  1. Hubungan Timbal Balik (Resiprosity)

Modal sosial tentang resiprosity pada petani penggarap HP Parungpanjang cukup rendah, hal ini terlihat dari tidak adanya kepedulian sosial, sikap saling membantu, dan saling memperhatikan antara petani penggarap. Contohnya bila ada salah satu anggota yang mengalami kesulitan, anggota kelompok lainnya tidak bisa membantu, dengan alasan mereka juga susah. Hal ini bisa juga dilatarbelakangi oleh kurangnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok tani, misalnya penyuluhan atau kegiatan yang dapat mempererat hubungan antar sesama petani penggarap sehingga dapat meningkatkan kepedulian dan rasa saling memperhatikan sesama petani penggarap. Ini sesuai pendapat Hasbullah (2006) yang menyatakan bahwa pada masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang didalamnya memiliki bobot resiprositas rendah akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Ini akan juga terefleksikan dengan tingkat kepedulian sosial yang rendah, tidak saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian permasalahan sosial tidak mudah diatasi.

  1. Nilai-nilai

Modal sosial tentang nilai-nilai pada petani penggarap HP Parungpanjang juga rendah. Petani penggarap telah disosialisasikan tentang aturan-aturan penggunaan lahan yang harus dipatuhi. Memang tidak pernah terjadi konflik yang berarti diantara sesama petani penggarap, karena memang sangat sedikitnya frekuensi komunikasi yang formal diantara mereka, seperti pertemuan rutin atau kegiatan lainnya. Padahal nilai-nilai yang hidup di masyarakat seharusnya adalah suatu ide yang dianggap benar dan penting oleh seluruh anggotanya dan hal tersebut bisa menjadi motor penggerak dalam kelompok. Nilai kolektif ini yang tidak tampak pada komunitas petani penggarap sehingga meskipun berkelompok namun orientasinya bersifat individualistik.

Menguatkan Modal Sosial Masyarakat

Masyarakat desa di Kp. Babakan adalah potret buram ketidakberhasilan pemerintah dalam membangun desa. Jika dilihat dari segi jarak yang tidak terlalu jauh dari ibu kota dan kota kecamatannya yang menjadi kota satelit bagi Jakarta, tidak membuat Kp. Babakan ini menjadi perhatian pembangunan. Daerah transisi di mana di sekitarnya terjadi eksploitasi tambang bahan galian C dan daerahnya menjadi lalu lalang truk pengangkut batu kali dan pasir membuat infrastruktur di daerah ini rusak parah. Banyak penduduk yang pernah menjadi buruh/kuli batu dan pasir namun tidak ada peningkatan ekonomi yang layak membuat mereka putus asa, ketika ada kesempatan untuk banting stir menjadi petani penggarap di HP Parungpanjang, maka diambillah kesempatan itu. Jadi pada dasarnya kebanyakan petani penggarap ini memang bukan dari keturunan petani, sehingga ilmu, pengetahuan dan pengalamannyapun sebagai petani lebih didominasi oleh dikerjakan saja daripada tidak ada kerjaan dan coba-coba. Ketiadaan penyuluhan pertanianpun membuat proses bertani di lahan garapan menjadi sebuah wilayah yang penuh ketidakpastian, tanaman apa yang lebih cocok dan lebih menghasilkan secara ekonomi, perawatan, pemupukan, pemberantasan hama dll menjadi hal yang dicoba-coba. Akibatnya seperti tahun ini hama tikus merajalela dan menggagalkan banyak tanaman petani penggarap, mulai dari padi gogo, kacang tanah, singkong dll semuanya rusak karena hama tikus. Ditambah lagi karakteristik lahan garapan yang ada di HP Parungpanjang adalah lahan marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah, maka ketiadaan pengetahuan tentang hal-hal diatas menjadi akumulatif dan terlihat selama hampir dua tahun menjadi petani penggarap tidak terdapat peningkatan kesejahteraan seperti yang dibayangkan, hanya untuk bertahan hidup ditengah jeratan kemiskinan.

Keterbelakangan masyarakat pedesaan terkait erat dengan lemahnya modal sosial masyarakat didalamnya. Sebaran kemiskinan, misal menurut indikator kebutuhan dasar manusia dengan ukuran pendapatan ekuivalen 2100 kalori per kapita per hari tidak dapat dipenuhi oleh seluruh petani penggarap di HP Parungpanjang yang ada di Kp. Babakan ini. Jika melihat tingkat kemiskinan masyarakat yang diukur berdasarkan atas kemampuan menyekolahkan anak hingga tingkat SMP, lagi-lagi seluruh petani penggarap di Kp. Babakan ini tidak sanggup menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMP, hanya sedikit yang bisa menyekolahkannya hingga tamat SD, dan sisanya putus sekolah di tingkat SD, padahal penguatan sumberdaya manusia atau modal manusia pedesaan merupakan elemen modal sosial yang penting di pedesaan. Dan dari penelitian lain ditemukan bahwa terdapat hubungan erat antara kuatnya modal sosial yang dipunyai suatu masyarakat dengan kemampuannya mengatasi kemiskinan (Pranadji, 2006).

Kebutuhan pangan adalah hal yang paling mendasar bagi kehidupan masyarakat, ini adalah hal yang cukup sulit untuk sebagian besar keluarga petani penggarap. Jika masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi pemenuhan kebutuhan dasarnya (pangan) maka gejala “penghancuran solidaritas sosialnya” akan terjadi. Dilihat dari proporsi alokasi penggunaannya, sebagian besar pendapatan rumah tangga petani penggarap adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau pangan, karena pemenuhan kecukupan karbohidrat pada masyarakat pedesaan masih menjadi masalah serius, hal ini dikarenakan sangat kecilnya pendapatan rumah tangga petani penggarap. Hasil penelitian Baum (1999) dalam Panadji (2006) menggambarkan bahwa semakin tercukupi kebutuhan pangan, semakin besar potensi masyarakat pedesaan untuk menguatkan modal sosialnya. Mendistribusikan kesejahteraan untuk pemenuhan kebutuhan dasar di pedesaan dapat diartikan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kemampuan masyarakat pedesaan menguatkan modal sosialnya.

Aspek kepercayaan atau trust menjadi komponen utama pembentuk modal sosial di pedesaan sedangkan aspek lain seperti kerjasama (cooperation) dan jaringan kerja (net-work), tidak akan terbentuk jika tidak dilandaskan pada terbentuknya hubungan saling percaya (mutual-trust) antar anggota masyarakat. Lingkaran dalam atau inti modal sosial adalah tata-nilai yang hidup di masyarakat tersebut (Pranadji, 2006).

Jika dilihat dari harapan petani penggarap untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya berdasarkan kondisi sumberdaya alam yang dikelola maka seluruh petani penggarap sudah pasrah dan merasa tidak tahu harus melakukan apalagi untuk meningkatkan taraf kehidupannya.

Dari keseluruhan pembahasan di atas menunjukkan bahwa rendahnya modal sosial petani penggarap di HP Parungpanjang sangat terkait erat dengan perkembangan kegiatan perekonomian non pertanian, pengurangan kemiskinan dan pengembangan modal manusia. Tingkat pendidikan yang masih terbatas serta tidak dimilikinya ketrampilan kerja yang memadai menyebabkan tenaga kerja tidak bisa mengakses peluang kerja yang lebih layak. Secara kuantitas, modal manusia yang tersedia sangat besar sehingga seharusnya ini dapat dimanfaatkan sebagai peluang dalam meningkatkan modal sosial. Sesuai dengan yang disebutkan Fukuyama dalam Yuliarmi ( 2011) yang menyebutkan bila level saling percaya lebih rendah di masyarakat atau modal sosial tidak memadai maka menyebabkan transaksi tinggi lebih tinggi dalam masyarakat, di mana membatasi aktivitas pasar dan membatasi perdagangan dalam sebuah masyarakat. Masyarakat tingkat kampung memang memiliki kekhasan komposisi tata-nilai dasar, yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, untuk membangun modal sosialnya.

Modal sosial yang ada pada petani penggarap HP Parungpanjang ada walaupun sangat rendah, dengan tipologi sosial berbentuk bonding. Modal sosial yang berbentu bonding yaitu modal sosial dalam konteks ide, relasi, dan perhatian yang berorientasi ke dalam (inward looking). Bentuk modal sosial semacam ini umumnya muncul dan berada dalam masyarakat yang cenderung homogen. Menurut Putnam (1993) mengistilahkan masyarakat dengan bonding social capital sebagai ciri sacred society, yakni masyarakat yang terdominasi dan bertahan dengan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup oleh dogma tertentu. Pola interaksi sosial sehari-hari masyarakat semacam itu selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang hanya menguntungkan level hierarki tertentu (Kusumastuti, 2015).

Elemen modal sosial di pedesaan yang dinilai penting adalah solidaritas, manajemen sosial, jaringan kerja sama dan kegotong-royongan setempat. Peran kepemimpinan sangat penting dalam penguatan modal sosial, namun umunya peran kepemimpinan nonformal memiliki pengaruh lebih nyata dalam membangun dan memelihara modal sosial. Hal ini terlihat dengan majunya kelompok tani pimpinan Haji Basyir di Kampung Babakan, selama hampir 20 tahun ia telah membangun kelompok tani Harapan Baru sehingga menjadi kelompok tani yang diperhitungkan di tingkat kecamatan hingga kabupaten, hal inilah yang belum ditemukan dalam kelompok tani penggarap lahan HP Parungpanjang. Dengan mengembangkan komponen tata nilai dasar seperti rajin, kerja keras, empati, kejujuran, sabar, rasa malu dan hidup hemat adalah tata nilai dasar yang berperan penting membentuk modal sosial di pedesaan.

Paling tidak terdapat tiga aspek yang menunjukkan penguatan modal sosial yakni: terbentuknya kerja sama dan solidaritas (“kohesivitas”), perluasan jaringan kerja (bermakna peningkatan skala kerja atau jaringan ekonomi), dan peningkatan daya saing kolektif secara berkelanjutan. Ketiga modal sosial tersebut dibangkitkan oleh sejumlah tata nilai (komposit) yang membentuk jaringan mutual trust, mutual respect dan mutual benefit (Tri Pranadji, 2006).

Kunci utama dari modal sosial adalah adanya rasa percaya (trust) yang tinggi antar warga. Rasa percaya menjadi kunci dalam introduksi aktivitas ekonomi dalam lembaga sosial di masyarakat. Untuk itu agar mendapatkan modal sosial maka seseorang harus terhubung dengan orang lain, dimana diantaranya saling mendapatkan manfaat. Modal sosial hanya akan bermanfaat apabila didistribusikan antar individu dalam suatu struktur sosial. Modal sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang mempunyai sifat “barang milik umum” (Widodo, 2011).

Modal sosial yang kuat antara lain dicirikan oleh berkembangnya kepercayaan sosial dalam masyarakatnya, kepedulian kepada sesama nasib yang menderita dan penghargaan yang tinggi terhadap waktu dan martabat manusia. berkembangnya rasa keadilan dan pengakuan tinggi atas hak-hak individu seperti yang berkembang dalam masyarakat madani juga menjadi ciri dari modal sosial yang kuat (Susanto, 2010).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Modal sosial petani penggarap HP Parungpanjang masih sangat lemah/rendah, hal ini terlihat dari dilihat dari norma yang berkembang memang ada tetapi lemah, jaringan yang tidak berkembang, tingkat kepercayaan cukup baik namun lemah, hubungan resiprocity yang lemah dan nilai-nilai kolektif yang ada juga rendah. Kemiskinan menjadi salah satu penyebab lemahnya modal sosial di petani penggarap HP Parungpanjang, hal ini menjadi lingkaran setan (vicious circle) yang berulang dan tidak terputus antara ketiadaan akses produksi, rendahnya pendidikan, modal sosial yang lemah dan kemiskinan.

Saran

Salah satu bentuk cara untuk memutus lingkaran setan kemiskinan adalah melakukan pemberdayaan institusional dan penguatan nilai dan membangun aksi-aksi kolektif (Soedjatmoko, 1983). Maka pemberdayaan masyarakat pedesaan tidak cukup dilandaskan pada pemberian bantuan material berdasarkan semangat belas kasihan (karikatif) atau pengembangan sistem usaha atau produksi berbasis lahan, melainkan harus juga mempertimbangkan penguatan semangat kerja kolektif agar terbentuk kerjasama dan solidaritas (kohesivitas), memperluas jaringan kerja (perluasan skala kerja dan jaringan ekonomi) dan peningkatan daya saing kolektif secara berkelanjutan. Modal sosial relatif tajam dan jelas terlihat untuk diamati di tingkat masyarakat kecil, atau level kampung, oleh sebab itu penguatan modal sosial untuk pemberdayaan masyarakat hendaknya dimulai dari masyarakat paling bawah yaitu kampung dimana petani penggarap tinggal dan berinteraksi secara lebih kompleks.

Peran kepemimpinan non-formal lebih memiliki pengaruh lebih nyata dalam membangun dan memelihara modal sosial. Memperkuat basis kepemimpinan pada tokoh non-formal setempat untuk membentuk modal sosial atau menguatkan modal sosial kelompok masyarakat dinilai memberikan jaminan lebih baik dibanding jika mengandalkan pada tokoh formal atau tokoh dari desa.

DAFTAR PUSTAKA

Desmiwati. (2016). Studi Tentang Persepsi dan Tingkat Partisipasi Petani Penggarap Di Hutan Penelitian Parungpanjang. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 4(2), 109–124.

Fukuyama, Francis. (2001). Social Capital, Civil Society and Development. Third World Quarterly, 22(1), 7-20.

Hasbullah, Jousairi. (2006). Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press.

Husain,Umar. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Gramedika Pustaka.

Kusumastuti, A. (2015). Modal Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan Infrastruktur Modal Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam. Jurnal Sosiologi, 20(1), 81–97.

Lawang, Robert M.Z. (2004). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosilogik Suatu Pengantar. Depok: Universitas Indonesia.

Pranadji, Tri. (2006). Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekonomi, 24(2), 178-206.

Soedjatmoko. (1983). Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan. Jakarta: LP3ES.

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Susanto, D. (2010). Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Sumberdaya Manusia Pendamping Pengembang Masyarakat. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 08(1), 77-89.

Syahyuti. (2008). Peran Modal Sosial (Social Capital) Dalam Perdagangan Hasil Pertanian. (The Role Social Capital In Agricultural Trade). Forum Penelitian Agro Ekonomi, 26(1), 32-43.

Utami, Nidia Desi. (2014) Modal Sosial Pada Kelompok Tani/Ternak Tibona Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Skripsi. Tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Widodo, Slamet. (2011). Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. Makara, Sosial Humaniora, 15(1), 10-20.

Yuliarni, Ni Nyoman. (2011). Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Industri Kerajinan di Provinsi Bali. E-Jurnal Udayana, 7(2).

 

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI DI INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI DI INDONESIA (Factors that Influence the Policy of the Provincial Minimum Wage in Indonesia)

 Desmiwati* Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Jalan Cikoko Barat IV No.13 Rt/Rw: 04/05, Pancoran, Jakarta E-mail:desmiwati.wong@gmail.com

ABSTRACT

This research explores some factors that influence the minimum wage policy in Indonesia. This study uses econometric analysis to factors that influence the minimum wage policy, and also performed a descriptive analysis of the factors that affect the minimum wage policy. The results of this study show that minimum wage policy-making is affected by the econometric calculations, but the political process, lobbying, negotiation and bargaining power that occur between the elements in decision-making forum on the minimum wage, is the Wage Council also important factors.

 Keywords: minimum wage policy, the wage council, properly wage

 ABSTRAK

Penelitian ini membahas beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan upah minimum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan analisis ekonometri terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan upah minimum, kemudian juga dilakukan analisis deskriptif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan upah minimum. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengambilan kebijakan upah minimum memang dipengaruhi oleh hitung-hitungan secara ekonometri, akan tetapi proses politik, lobby, negosiasi dan posisi tawar yang terjadi antar elemen di dalam forum pengambilan keputusan mengenai upah minimum, yakni di Dewan Pengupahan juga menjadi faktor yang menentukan.

Kata Kunci: kebijakan upah minimum, dewan pengupahan, upah layak

PENDAHULUAN

Tenaga kerja adalah faktor penting dalam proses produksi. Tenaga kerja berkemampuan bertindak aktif, mampu mempengaruhi dan melakukan manajemen terhadap faktor produksi lainnya yang terlibat dalam proses produksi (Sumarsono, 2003).

Terdapat dua pandangan (kubu) yang berbeda dan saling menegasikan antara keduanya. Pihak pengusaha di satu sisi dan pekerja disisi lainnya. Hal yang menjadi perdebatan salah satunya adalah tentang upah minimum. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dari perselisihan antara kelompok serikat pekerja yang menghendaki kenaikan upah minimum yang signifikan, sementara kelompok pengusaha melihat bahwa tuntutan ini bertentangan dan tidak kompatibel dengan upaya pemerintah mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Daya beli masyarakat sendiri merupakan salah satu indikator dalam proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, sehingga masalah kebutuhan hidup minimum yang disurvey berdasarkan pengeluaran buruh untuk dapat bertahan hidup secara minimum akan menjadi indikator yang jelas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum para buruh mayoritas pendapatannya berasal dari penerimaan hasil kerja mereka (upah) (Sukirno, 2000).

Upah diartikan sebagai pembayaran atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Ahli ekonomi membuat perbedaan diantara dua pengertian upah, yakni upah uang dan upah riil. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima para pekerja dari para pengusaha sebagai pembayaran atas tenaga mental atau fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi. Sedangkan upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja. (Sukirno, 2000).

Besarnya upah minimum ditetapkan satu tahun sekali setelah didahului dengan survey tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dinas Tenaga Kerja bersama Dewan Pengupahan menghitung nilai KHL menurut hasil survey. Komponen yang disurvey dapat digolongkan kedalam 5 kelompok: kelompok makanan dan minuman; kelompok bahan bakar dan penerangan; kelompok perumahan dan peralatan, kelompok pakaian dan kelompok lain-lain. Dalam memperhitungkan nilai akhir KHL juga telah memperhatikan faktor lain yang mempengaruhinya seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kebutuhan fisik minimum, kemampuan perusahaan serta perbandingan tingkat pengupahan di daerah lain.

Akan tetapi kenyataannya, fakta di lapangan menyebutkan secara rata-rata Upah Minimum Propinsi baru memenuhi sekitar 90% dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang ada. Dalam rangka menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) maka perlu dilihat dasar pertimbangan penetapan Upah Minimum Regional yaitu: Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK), perluasan kesempatan kerja, upah pada umumnya yang berlaku secara regional, Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, dan Tingkat perkembangan perekonomian. Tujuan pengaturan UMP ini adalah untuk: (1) menjaga agar tingkat upah tidak merosot ke bawah (berfungsi sebagai jaring pengaman), (2) meningkatkan daya beli pekerja yang paling bawah, dan (3) mempersempit kesenjangan secara bertahap antara mereka yang berpenghasilan tertinggi dan terendah.

Dalam menentukan tingkat upah minimum terdapat 4 (empat) pihak yang saling terkait yaitu pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, Dewan Pengupahan Nasional yang merupakan lembaga independen terdiri dari pakar, praktisi dan lain sebagainya yang bertugas memberikan masukan kepada pemerintah, Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) sebagai penyalur aspirasi pekerja dan wakil pengusaha melalui APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Mereka bertugas mengevaluasi tingkat upah minimum yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat upah tersebut sudah saatnya untuk dinaikkan atau belum.

Untuk itu penelitian ini akan membahas tentang apakah UMP di Indonesia sudah mengikuti Permenaker No.13/2012 tentang komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, apakah UMP sejalan dengan perkembangan KHM, IHK dan PDRB. Apakah terjadi kenaikan kesejahteraan buruh dari waktu ke waktu? Untuk itu akan dianalisis beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dibahas teori-teori penjelas dan pendukung, yakni mengenai Pasar Tenaga Kerja, di mana keseimbangan pasar tenaga kerja merupakan suatu posisi tertentu yang terbentuk oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran tenagakerja. Teori Pengupahan, menurut John A. Fossum (1995) dalam “Bargaining Theory” dengan teori perundingannya menyatakan bahwa terdapat batas atas dan bawah untuk tingkat upah, dan bahwa tingkat aktualitas antara kedua batas tersebut ditentukan oleh tingkat kepentingan buruh untuk menerima pekerjaan, sehingga dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, tingkat upah yang ditetapkan melalui persetujuan buruh bersama majikan tergantung dari kemampuan atau kekuatan berunding (bargaining power).

Kondisi upah buruh di Indonesia, jika upah buruh naik akan tetapi masih dibawah angka inflasi maka hal tersebut berarti upah rill buruh turun. Dan hal itulah yang terus terjadi sampai saat ini. Upah Minimum Propinsi (UMP), kelompok pendukung kebijakan upah minimum berargumen bahwa upah minimum akan meredistribusikan sumber daya dan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan pekerja disektor formal (Lustig dan McLeod, 1996; 2001).

Terdapat pendapat bahwa upah minimum akan mendorong peningkatan pendapatan pekerja sektor informal melalui tiga cara, yaitu: pertama, tingkat upah pekerja formal yang lebih tinggi akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang diproduksi oleh pekerja sektor informal, sehingga pendapatan pekerja informal juga akan meningkat; kedua, kebijakan upah minimum memiliki ”lighthouse effect” terhadap distribusi upah pekerja informal yang tidak terlindungi, sehingga upah minimum bisa menjadi benchmark untuk sistem penggajian yang adil; ketiga, upah minimum akan mendorong relokasi investasi yang lebih padat pekerja.

Upah untuk Kebutuhan Hidup Layak, David Bacon (1982) menegaskan bahwa penetapan konsep diatas standar upah (“upah layak”) buruh adalah pemberian uang yang didasarkan pada upah rata-rata yang berlaku di dalam jenis usaha dan lokasi kerja setelah bekerja selama 8 (delapan) jam sehari atau 40 (empat puluh) jam seminggu kemudian ditambah tunjangan seperti; perawatan dokter (rumah sakit), pensiun, ganti rugi biaya rumah sakit, tunjangan waktu menganggur, asuransi jiwa, biaya berlibur dan mengikutsertakan program magang.

 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melihat pengaruh dari variabel independent yakni KHM, IHK (inflasi) dan PDRB terhadap UMP. Dengan menggunakan analisis ekonometri data panel 28 (dua puluh delapan propinsi) dari tahun 2001-2008. Dengan menggunakan sofware Stata versi 8 diperoleh regresi linear dan regresi yang menggunakan Logaritma Natural (Ln), regresi dilakukan bukan untuk mencari model terbaik, akan tetapi lebih kepada memberikan gambaran besar pengaruh dan elastisitasnya dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Namun tetap juga digunakan uji F statistik, Uji Hausman, Uji Lagrange Multiflier (LM) selain itu juga digunakan Uji Asumsi Klasik (Uji Otokorelasi, Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas (Gujarati, 2003).

Sedangkan untuk pendekatan kualitatif digunakan wawancara mendalam dan analisa deskriptif untuk memberikan gambaran mengenai proses pengambilan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Indonesia dan juga mengenai upah layak yang diperjuangkan.

PEMBAHASAN

 1. Upah Minimum Propinsi (UMP)

Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini baik variabel terikat maupun variabel bebas, maka dilakukan terlebih dahulu analisis secara statistik deskriptif  yang mencakup nilai rata-rata (mean), standar deviasi, dan nilai ekstrim (nilai maksimum dan minimum), seperti yang ditunjukan pada Tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif dari Variabel Penelitian

Stat UMP PDRB KHM IHK
Mean 503269.3 5.53e+07 563354.1 367.3973
Median 467000 2.12e+07 520415.5 359.5
Maximum 1180000 3.54e+08 1475035 657
Minimum 175214 1911043 181682 91
Std. Dev 192388 7.87e+07 212061.2 105.0374
Skewness 0.6518669 2.086284 0.9393071 0.1831441
Kurtosis 2.882656 6.309851 4.43534 2.669194

Sumber: hasil olahan sendiri

Dari hasil statistik deskriptif dapat dilihat besaran nilai rata-rata, nilai tengah, nilai maksimum dan minimum dari UMP, PDRB, KHM, dan IHK. Nilai rata-rata hitung (mean) UMP sebesar Rp.503.269,-, PDRB sebesar Rp.55,3 Triliyun,-, KHM sebesar Rp.563.354,- dan IHK sebesar 367,4. Untuk nilai tengah (median) UMP sebesar Rp.467.000,-, PDRB Rp.21,2 triliyun, KHM Rp.520.415,- dan IHK 359,5.

Gambar 4.1 Grafik KHM dan UMP 28 Propinsi di Indonesia (2001-2008)

Sumber: Olahan sendiri

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 2001-2008, untuk 28 propinsi di Indonesia, secara umum terlihat bahwa Upah Minimum Propinsi umumnya lebih rendah dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Artinya selama ini bagi para pekerja (buruh) di Indonesia, upah yang mereka terima bahkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Hal ini semakin miris mengingat yang dihitung oleh upah minimum adalah buruh lajang dengan masa kerja dibawah satu tahun. Artinya upah yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup minimum tersebut terpaksa tetap diambil oleh buruh bahkan bagi yang telah memiliki keluarga (istri dan anak) dengan masa kerja bahkan diatas puluhan tahun. Tentu hal tersebut sangat menyedihkan bagi kehidupan para buruh dimasa mendatang, terutama bagi anak-anak mereka mengingat biaya hidup dan sekolah yang akan semakin mahal. Untuk itu sangat dibutuhkan campur tangan pemerintah dalam menangani masalah upah ini agar kondisi hidup para pekerja (buruh) menjadi lebih baik, produktivitas pekerja juga meningkat dan usaha di Indonesia lebih kondusif dan terusberkembang.

Hasil Estimasi dengan Regresi Linear

Tabel 4.2 Hasil Estimasi Terhadap Upah Minimum Propinsi Regresi Linear

Variabel PLS Fixed Effect Random Effect
Constanta -48757.95

(22406.39)***

-100878.7

(18328.79)***

-107422.8

(20792.46)***

PDRB 0.0000635

(0.0000764)

-0.0007285

(0.0003298)

-0.0000849

(0.0001547)

KHM 0.5826192

(0.0364971)***

0.293812

(0.0377991)***

0.3604604

(0.0368513)***

IHK 599.6087

(73.73446)***

1303.535

(78.0946)***

1122.277

(74.45326)***

Jumlah Observasi 224 224 224

F-statistic

0.7857

268.83***

0.9173

713.44***

0.7337

 

Autokorelasi Test:

F-statistic

Prob

 

4.253***

0.0489

 

4.253***

0.0489

 

4.253***

0.0489

Heteroskedastisitas Test:

F-statistic

Prob

 

 

 

247.66***

0.0000

 

 

***): signifikan pada 1 persen

Jadi dengan menggunakan regresi linear didapatkan hasil bahwa fixed effect lebih baik dibanding random effect, akan tetapi dipenelitian ini yang dicari bukanlah model terbaiknya tapi bagaimana persamaan regresi bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara variabel yang mempengaruhi Upah Minimum Propinsi di Indonesia.

Model persamaan regresi linear yang dipakai yakni:

UMP =  -100878.7 – 0.0007285 PDRB + 0.293812 KHM + 1303.535 IHK

 Dari persamaan tersebut kita mendapatkan bahwa jika KHM naik 1 unit satuan maka UMP akan naik 0,3 unit satuan. Karena satuannya sama yakni dalam ratus ribu, maka bisa dikatakan jika KHM naik Rp. 100.000,-, UMP hanya mengalami kenaikan 0,3nya, yakni Rp. 30.000,-. Dengan demikian hal ini menggambarkan bahwa jika dilihat dari besaran Upah Minimum Propinsi maka tidak akan mampu memberikan kesejahteraan bagi para pekerja, minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya dengan asusmsi variabel yang lain bersifat tetap.

Hasil estimasi dengan menggunakan regresi linear dengan fixed effect menunjukkan bahwa variabel PDRB, KHM dan IHK memberikan pengaruh terhadap UMP selama kurun waktu 2001-2008. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0.9173 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi UMP sebesar 91,73% selama periode pengamatan, sedangkan sisanya 8,27% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.

Hasil Estimasi dengan Regresi Logaritma Natural

Tabel 4.3 Hasil Estimasi Terhadap Upah Minimum Propinsi Regresi Log Nat

Variabel PLS Fixed Effect Random Effect
Constanta 2.062517

(0.4113919)***

3.134104

(1.330923)***

2.062517

(0.4113919)***

LnPDRB 0.9212298

(0.0183893)

0.0075951

(0.0930541)

0.0212298

(0.0183893)

LnKHM 0.4857279

(0.0398316)***

0.3140075

(0.0421056)***

0.4857279

(0.0398316)***

LnIHK 0.722188

(0.0527433)***

0.9649575

(0.0603266)***

0.722188

(0.0527433)***

Jumlah Observasi 224 224 224

F-statistic

0.9418

 

0.9472

1153.03***

0.9418

 

Autokorelasi Test:

F-statistic

Prob

 

2.264

0.1440

 

2.264

0.1440

 

2.264

0.1440

Heteroskedastisitas Test:

F-statistic

Prob

   

1313.58

0.0000***

 

***): signifikan pada 1 persen

Berdasarkan tabel diatas, hasil estimasi dengan menggunakan logaritma natural dengan fixed effect menunjukkan bahwa variabel PDRB, KHM dan IHK memberikan pengaruh terhadap UMP selama kurun waktu 2001-2008. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0.9472 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi UMP sebesar 94,72% selama periode pengamatan, sedangkan sisanya 5,28% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.

Juga dapat dilihat hasil estimasi dengan menggunakan logaritma natural dengan random effect menunjukkan bahwa variabel PDRB, KHM dan IHK memberikan pengaruh terhadap UMP selama kurun waktu 2001-2008. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0.9418 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi UMP sebesar 94,18% selama periode pengamatan, sedangkan sisanya 5,82% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.

Pada model persamaan regresi UMP di Indonesia adalah yang menggunakan Logaritma Natural (Ln)sebagai berikut:

LnUMP =  3.134104 + 0.0075951 LnPDRB + 0.3140075 LnKHM + 0.9649575 LnIHK

Dari nilai koefisien masing-masing variabel diketahui besarnya persentase pengaruh variabel tersebut. Dengan asumsi variabel input lainnya tetap, maka: PDRB: setiap peningkatan 1% PDRB propinsi maka akan menyebabkan kenaikan UMP sebesar 0.0075951 %. KHM: setiap peningkatan 1% KHM propinsi maka akan menyebabkan kenaikan UMP sebesar 0,3140075 % . IHK: setiap peningkatan IHK propinsi sebesar 1% maka menyebabkan kenaikan UMP di propinsi sebesar 0.9649575 %. Hasil estimasi dengan menggunakan logaritma natural dengan fixed effect menunjukkan bahwa variabel PDRB, KHM dan IHK memberikan pengaruh terhadap UMP selama kurun waktu 2001-2008. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0.9472 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi UMP sebesar 94,72% selama periode pengamatan, sedangkan sisanya 5,28% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.

 1. Dewan Pengupahan

Dewan Pengupahan adalah sebuah lembaga nonstruktural yang bersifat tripartit yang bertugas untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam menetapkan upah minimum dan menerapkan sistem pengupahan serta menyiapkan bahan perumusan sistem pengupahan. Dewan ini terdiri atas tripartit dengan model keterwakilan berimbang yang melakukan perundingan setiap tahun untuk menetapkan besaran nilai upah minimum. Dasar utama untuk mendapatkan angka usulan kenaikan upah minimum adalah survei harga pasar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).

Setia (2000), pada tahun 2000, Dewan Pengupahan mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik dari komposisi keanggotaan maupun mekanisme penetapan upahnya. Hal tersebut berkaitan dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah dan kebebasan berserikat.

Saat ini Dewan Pengupahan menggunakan model komposisi keterwakilan secara berimbang. Masing-masing unsur tripartit mempunyai jumlah wakil yang sama dalam Dewan Pengupahan. Bertambahnya jumlah perwakilan serikat buruh dalam Dewan Pengupahan berkaitan dengan diratifikasinya Konvensi ILO 87/98 tentang Kebebasan Berserikat. Hanya serikat buruh yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja Provinsi yang bisa menjadi anggota Dewan Pengupahan; semakin banyak jumlah serikat buruh yang terdaftar akan semakin banyak pula jumlah perwakilan serikat buruh di Dewan Pengupahan. Bertambahnya jumlah perwakilan serikat buruh tersebut akan diiringi dengan bertambahnya jumlah perwakilan pengusaha dan pemerintah sehingga komposisi keterwakilan yang ada tetap berimbang. Perubahan ini memberikan peluang bagi buruh untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan di Dewan Pengupahan sehingga buruh bisa memanfaatkan Dewan Pengupahan untuk memperjuangkan perbaikan kondisinya.

Berdasarkan Kepmenaker No.226/2000, peraturan ini telah melimpahkan kewenangan penetapan UMP dan UMK kepada gubernur sebagai bentuk aktualisasi dari kebijakan otonomi daerah sehingga diharapkan gubernur dalam menentukan upah sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang hasilnya diharapkan sesuai dengan kondisi riil yang ada.

2. Mekanisme dan Proses Lahirnya Upah Minimum di Dewan Pengupahan

Jika semua unsur di Dewan Pengupahan memainkan peranannya secara adil, maka kemungkinan buruh akan dihadapkan pada sesuatu yang adil, namun apabila terjadi koalisi antara pemerintah dan pengusaha maka tentu akan mempersulit posisi buruh, apalagi jika terjadi mekanisme voting dalam pengambilan keputusannya.

Buruh harus menghadapi suatu strategi yang dapat menghambat keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan. Mekanisme voting, di satu sisi, dapat menjadi salah satu alat perjuangan buruh untuk memasukkan kepentingannya tetapi, di sisi lain, dapat merugikan buruh. Jika semua pihak yang ada di Dewan Pengupahan memainkan perannya masing-masing, sementara pemerintah berfungsi sebagai fasilitator dan mediator antara buruh dan pengusaha, maka buruh dihadapkan pada sesuatu yang adil. Hal ini pun harus ditunjang dengan kemampuan negosiasi yang baik agar buruh dapat mengimbangi kapasitas yang dimiliki oleh pihak pengusaha. Namun, jika pemerintah berkepentingan untuk lebih berpihak kepada pemegang modal, yaitu pengusaha, maka buruh akan sulit memperjuangkan kepentingannya karena harus berhadapan dengan aliansi antara pengusaha dan pemerintah.

Di era otonomi daerah ini gubernur atau bupati/walikota sebenarnya mempunyai peluang untuk memperbaiki kondisi buruh yang ada di wilayahnya karena mereka bisa lebih mengetahui kemampuan daerah dan juga kemampuan perusahaannya dan dengan demikian dapat menetapkan upah minimum sesuai dengan kemampuan yang ada.

Gubernur atau bupati/walikota dapat menggunakan kewenangannya untuk mengembalikan usulan upah minimum yang diajukan oleh Dewan Pengupahan untuk dirumuskan kembali. Apabila dalam jangka waktu 14 hari tidak mendapat tanggapan, maka gubernur atau bupati/walikota mempunyai kewenangan untuk menetapkan upah minimum.

Pada kenyataannya peran tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Yang terjadi adalah gubernur atau bupati/walikota malah menjadi legalisator dari kelemahan-kelemahan yang ada dan hal yang paling dikhawatirkan terbukti bahwa eksekutif bisa membuat perjuangan buruh terhadang. Dengan demikian, meskipun wakil serikat buruh telah mengerahkan kemampuannya dalam proses penambahan upah minimum di Dewan Pengupahan, jika yang menjadi pengambil keputusan lebih aspiratif terhadap kepentingan modal, maka perjuangan buruh tetap tidak sesuai dengan harapan buruh. Hal ini sangat tergantung pada siapa yang menjadi gubernur atau bupati/walikota dan apa kepentingan yang dimilikinya. Apabila eksekutif tidak mempunyai good will untuk memperbaiki kondisi buruh yang ada, maka dengan adanya kebijakan ini malah semakin mempersulit posisi buruh.

3. Memanfaatkan Peluang di Dewan Pengupahan Sebagai Strategi Memperjuangkan Upah Layak

Menurut Bambang Wirahyoso, Ketua DPD F.SP-TSK Jawa Barat, secara prinsip keberadaan Dewan Pengupahan yang merupakan lembaga triprtit tetap masih diperlukan, akan tetapi sebaiknya Dewan Pengupahan lebih diarahkan kepada hal-hal yang menyangkut kebijakan ketenagakerjaan secara makro, yakni upah minimum sebagai jaring pengaman (safety net) guna memberikan perlindungan dan jaminan minimal bagi para pekerja terhadap kemungkinan sewenang-wenang dari kalangan pengusaha.

Masih menurutnya lagi, keberadaan lembaga tripartit juga merupakan  sebuah forum komunikasi dan konsultasi antara SP/SB, pemerintah, dan asosiasi pengusaha dalam rangka memecahkan masalah ketenagakerjaan/perburuhan yang termasuk dalam pengawasannya, agar tercipta ketenangan berusaha dan ketenangan bekerja. Untuk itu Wirahyoso mengusulkan penamaan Dewan Pengupahan diganti menjadi Dewan Pengkajian dan Penetapan Upah Minimum. Peranan dan fungsinya sebetas menetapkan kebijakan upah minimum berdasarkan sektor jenis industri secara makro guna mencerminkan rasa keadilan dan objektivitas. Jadi akan terwujud kebijakan upah minimum sebagai jaring pengaman dan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja baru, kemudian lanjutnya sebaiknya upah minimum hanya diberlakukan pada perusahaan yang belum/tidak memiliki organisasi SB/SP, sedangkan bagi yang telah ada SP/SB-nya, besarnya upah minimum sebagai upah terendah ditentukan berdasarkan kesepakatan bipartit dan kemudian dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dan pastinya tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Ini akan juga membantu untuk mengatur sistem pengupahan diperusahaan yang selama ini bermasalah dengan adanya upah sundulan.

Dengan hal tersebut, menurutnya akan menciptakan sebuah sistem/struktur pengupahan yang adil dan mendorong produktivitas tenaga kerja, karena pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja lebih lama, apalagi telah berkeluarga, harus secara proporsional mendapatkan upah dan kesejahteraan yang lebih baik demi masa depannya dan keluarganya.

Dewan Pengupahan masih tetap dibutuhkan, akan tetapi diarahkan pada hal-hal yang menyangkut ketenagakerjaan yang bersifat makro, yakni upah minimum sebagai jaring pengaman guna perlindungan minimal buat pekerja, upah sebaiknya ditetapkan secara bipartit yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

4. Upah Layak yang Diperjuangkan.

Menurut penelitian yang dilakukan AKATIGA, konsep upah layak muncul untuk menjembatani perdebatan yang selalu muncul terkait persoalan upah minimum buruh di Indonesia, jika dari buruh, permasalahannya adalah upah minimum tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan dari pengusaha menyatakan bahwa kenaikan upah minimum setiap tahun cukup memberatkan. Defenisi upah layak mengacu pada upah untuk seorang pekerja dengan jam kerja standar yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dan memberikan kemampuan menabung. Untuk Indonesia, jam kerja standar adalah 40 jam per minggu.

Sedangkan defenisi kebutuhan hidup layak versi Permenaker 17/VIII/2005 adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, non fisik, dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Versi sebuah penelitian yang dilakukan AKATIGA, defenisi kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.

Hasil penelitian ini kemudian menunjukkan tingkat upah minimum tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak buruh dan masih jauh dari pengeluaran riil buruh yang disesuaikan dengan tingkat upah yang diterima. Selain rendahnya daya beli upah minimum terhadap kebutuhan hidup, survei ini juga membuktikan bahwa upah minimum memang dijadikan patokan pengupahan oleh pengusaha atau telah dijadikan upah maksimum. Upah minimum tidak lagi diberikan kepada buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun akan tetapi diberikan kepada semua buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Persoalan ini perlu dicermati baik oleh serikat, pengusaha, maupun pemerintah karena membawa implikasi luas terhadap kinerja industri dan tenaga kerja secara keseluruhan.

Ketidakmampuan upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak menyiratkan beberapa hal yang secara langsung menyentuh kepentingan buruh, pengusaha, dan pemerintah sekaligus. Dari sisi buruh, rendahnya daya beli upah minimum terhadap kebutuhan hidup menyebabkan buruh harus melakukan penghematan dan hidup dalam lingkaran hutang. Buruh yang hidup dalam kondisi sedemikian dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivasnya. Kinerja dan produktivitas buruh yang rendah adalah kepentingan langsung pengusaha yang akan mempengaruhi juga kinerja dan produktivitas perusahaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing perusahaan. Secara agregat produktivitas dan daya saing perusahaan yang rendah mencerminkan daya saing nasional yang juga rendah. Dalam kerangka itu maka peningkatan produktivitas buruh perlu dilakukan melalui perbaikan upah, dan konsep upah layak merupakan gagasan untuk memperbaiki upah yang dapat meningkatkan produktivitas.

Salah satu komponen untuk memenuhi kebutuhan hidup layak adalah upah. Komponen lainnya adalah jaminan sosial yang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan dan menjamin aksesnya bagi pekerja. Ini berarti pemenuhan kebutuhan hidup layak bukan hanya tanggung jawab pengusaha melainkan memerlukan pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah. Di dalam kaitannya dengan konsep upah layak maka nilai kebutuhan hidup layak bukanlah nilai upah layak. Dalam konsep upah layak, yang ditawarkan adalah sebuah konsep upah yang memperhatikan kepentingan buruh dan pengusaha serta membagi tanggung jawab antara pemerintah dan pengusaha. Di dalam konsep ini peran serikat buruh adalah mempertahankan dan meningkatkan kinerja anggota sehingga dapat memiliki argumen yang kuat apabila terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan upah layak.

Dengan demikian konsep upah layak merupakan gagasan untuk memperbaiki upah yang dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Misalnya penentuan besaran upah sesuai dengan jumlah tanggungan pekerja, dikalikan 2 jika memiliki tanggungan 1 orang dan dikalikan 3 untuk jumlah tanggungan 2 orang dan dikali 4 untuk tanggungan 3 orang atau lebih.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

  1. Dari tiga variabel bebas yang diduga mempengaruhi kebijkan pengupahan di Indonesia seluruh variabel bebasnya terbukti signifikan mempengaruhi kebijakan pengupahan di Indonesia, yakni Produk Domestik Regional Bruto, Kebutuhan Hidup Minimum dan Indeks Harga Konsumen.
  2. Dengan menggunakan regresi linear variabel bebas yang terbukti signifikan dan berkorelasi negatif mempengaruhi Upah Minimium Propinsi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sedangkan yang lain yakni KHM dan IHK berkorelasinya positif. Model persamaan regresi linearnya yakni:

Y = – 100878.7 – 0.0007285 Produk Domestik Regional Bruto + 0.293812 Kebutuhan Hidup Minimum + 1303.535 Indeks Harga Konsumen.

  1. Untuk regresi dengan menggunakan Logaritma Natural (Ln) secara parsial variabel LnPDRB terbukti tidak signifikan tetapi berkorelasi positif, sedangkan untuk LnKHM dan LnIHK, signifikan dan berkorelasi positif. Model persamaan regresinya:

LnY = 3.134104 + 0.00075951 LnProduk Domestik Regional Bruto + 0.3140075           LnKebutuhan Hidup Minimum + 0.9649575 LnIndeks Harga Konsumen.

  1. Dalam penentuan kebijakan Upah Minimum Propinsi faktor KHM,IHK dan PDRB tetap menjadi pertimbangan, dan selain beberapa faktor tersebut ternyata yang juga berperan adalah proses politik, kemampuan negosiasi dan posisi tawar dari masing-masing unsur di dalam Dewan Pengupahan. Walaupun pada akhirnya kebijakan tersebut tetap ditentukan oleh eksekutif (kepala daerah).
  2. Konsep dan kebijakan upah minimum harus dirubah, upah minimum hanyalah jaring pengaman bagi buruh dengan status lajang dan masa kerja dibawah satu tahun, selebihnya harus ada kesepakatan bipartit yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama.
  3. Untuk memperkuat posisi tawar serikat buruh di Dewan Pengupahan maka perlu ditingkatkan kemampuan negosiasi dan koordinasi. Dalam pengambilan keputusan di Dewan Pengupahan baik pihak pengusaha maupun buruh harus sama-sama terbuka, pengusaha bila belum siap menghadapi kenaikan upah harus didukung dengan data-data, demikian pula buruh, tuntutan kenaikan upah harus diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan pengetahuan mengenai kemampuan perusahaan. Begitu pula pemerintah, dukungannya tetap diperlukan agar tercipta hubungan yang sinergis antara buruh dan pengusaha, yakni dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan melakukan perannya secara optimal, baik dari segi pengawasan terhadap implementasi Upah Minimum maupun sebagai fasilitator/mediator dalam perundingan antara pengusaha dan buruh.

Saran

Dalam penentuan kebijakan upah minimum haruslah lebih memperhatikan kebutuhan hidup pekerja agar dapat hidup layak ditengah masyarakat dan sosialnya. Sehingga akan berdampak bagi kehidupannya di masa mendatang. Upah Minimum sudah saatnya diganti menjadi Upah Layak yang lebih berpihak terhadap penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, serta kehidupan yang lebih baik, di tengah kepungan kebijakan informalisasi ketenagakerjaan dalam paradigma liberalisasi pasar.

Untuk saat ini diperlukan segera sebuah peraturan perundang-undangan baru mengenai Upah Layak yang dapat diterima baik oleh pengusaha maupun buruh. Sangat diperlukan adanya hubungan yang baik antara buruh dan pengusaha serta pemerintah dalam rangka mewujudkan adanya perjanjian bersama yang setara dan seimbang antar unsur-unsur tersebut terutama dalam membicarakan masalah upah.

Ketika kebijakan yang lahir belum memenuhi rasa keadilan tersebut, maka para buruh bersatu, membangun kekuatan sendiri melalui organisasi untuk memperjuangkan kondisi hidupnya yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Artha, Tatum. (2006). Pengaruh Status Tempat Tinggal Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja: Analisis Upah Riil. Tesis, Universitas Indonesia.

Badan Pusat Statistik. (2009). Ekonomi dan Ketenagakerjaan Indonesia 2009-2010. Jakarta: BPS.

Sensus Ekonomi 2006 Analisis Ketenagakerjaan (Kondisi Sosial Ekonomi Pekerja)

Carrizosa, Alfredo Sances. (1988). Standing Committee on Human Rights: Human Right   Organization. Ficial Bulletin LXXI.

Case, E. Karl and Ray C. Fair, (2004). Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro Edisi Kelima. Jakarta: Indeks Jakarta.

Departemen Tenaga Kerja RI, Dirjen Binamas. (1995). Arah Kebijaksanaan Upah Minimum Regional Dalam Pelita VI. Seminar Pengupahan Nasional Penyelenggara DPPN, Jakarta.

Fossum, John A. (1982). Labor Relations, Development, Strukture, Process, Labor and Equal Employment Opportunity. Business Publication: Inc. The University of Michigan.

Gujarati, Damodar N. (2006). Basic Econometrics. 4th Edition. New York, USA: McGraw-Hill.

Holloway, Ian. “The Constitutionalization of Employment Rights: A Comparative View”. Barkeley Journal of Employment and Labour Law, Vol. 14 No. 1, 1993.

Islam, Inayatul and Suahasil Nazara. (2000). Minimum Wages and The Welfare of Indonesian Workers. Jakarta: ILO Jakarta.

Manning, Chris. (1998). Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story?. Cambridge: Cambridge University Press.

Nachrowi, Djalal (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: LP FE UI

Priyono, Edi. (2002). “Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Upah Minimum” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 7 No. 1 Februari 2002. Bandung: AKATIGA.

Pyndick, R.S, and Daniel L. Rubinfield. (1998). Econometric Model And Economic Forecasts, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill.

Rama, Martin. (1996). “The Consequences of Doubling The Minimum Wage: The Case of Indonesia”, Policy Reseach Working Paper No. 1643. Washington, D.C.: World Bank.

Setia, Resmi M.S. (2002). “Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Alat Perjuangan Buruh?” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 7 No. 1 Februari 2002. Bandung: AKATIGA.

Simanjuntak, J. Payaman. (1996). Teori dan Sistem Pengupahan. Jakarta: HIPSMI.

Soepomo. (1988). Hukum Perburuhan, Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh). Jakarta: Pradya Paramita.

Sukirno, Sadono. (2000). Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Rajawali Press.

Sulaiman, Abdullah. (2008). Upah Buruh di Indonesia. Jakarta: Universitas Trisakti.

Suryahadi, Asep dkk. (2001). “Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia”. Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian. Jakarta: SMERU.

Tjandra, Surya., Soraya, Yasmine MS., Jamaludin. (2007). Advokasi Pengupahan Di Daerah: Strategi Serikat Buruh di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Trade Union Rights Centre.

Tjandraningsih, Indrasari dan Rina Herawati. (2009). Menuju Upah Layak Survei Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia. Bandung: AKATIGA.

Tjiptoherijanto, Prijono. (2002). Upah, Jaminan Sosial dan Perlindungan Anak: Gagasan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bina Sumber Daya Manusia.

Wirahyoso, Bambang. (2002). “Upah Minimum Bagi Buruh dan Strategi Perjuangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 7 No. 1 Februari 2002. Bandung: AKATIGA.

Referensi Lain

Tabloid Lembur (Lembaran Buruh), Berserikat Di Kawasan Berikat. Edisi 19-Bulan September 2009.

Tabloid Lembur (Lembaran Buruh), Perang Upah 2009. Edisi 20-Bulan Desember 2009.

Ikhsan, Mohammad.Upah Minimum Regional dan Kesempatan Kerja, Mencari JalanTengah.http:www.els.bappenas.go.id/upload/other/Upah%20Minimum%20Regional%20dan%20Kesempatan%20Kerja.htm

 

 

Memahami Disposesi dan Kuasa Eksklusi dalam Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Tutur Perempuan (Review Makalah)

Judul Makalah: Memahami Disposesi  dan Kuasa Eksklusi dalam Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Tutur Perempuan

Penulis: Mia Siscawati

Kata Kunci: Ekspansi kelapa sawit skala besar, Penyingkiran perempuan, Perlawanan perempuan

Hasil Review

Makalah ini dengan sangat lugas mengulas bagaimana perubahan sosok pribadi Ibu Rini, seorang perempuan yang mengalami secara langsung bagaimana tekanan, penderitaan dan ketidakadilan yang didapatinya akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, kemudian diubahnya menjadi sebuah kekuatan untuk melawan dan menularkannya ke banyak perempuan dan pihak lain, sehingga perjuangan mereka menjadi terorganisir. Metamorfosis seseorang yang dari awalnya adalah korban menjadi subyek yang punya kekuatan untuk menggerakkan komunitas yang memiliki posisi tawar dan diperhitungkan di daerahnya, Sanggau, Kalimantan Barat.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar telah berlangsung puluhan tahun di Indonesia, lebih banyak kisah sedih dan tragedinya dibanding kisah baiknya. Baik itu dalam hal pengambilalihan lahannya maupun proses di perkebunan sawit itu sendiri, hingga saat ini. Dalam proses pengambilalihan lahannya telah membuat masyarakat lokal pemilik lahan sejak jaman nenek moyangnya terusir secara sistematis dari tanah mereka. Apa yang dirasakan Ibu Rini (perempuan) lebih berat lagi karena selain yang sistematis dan struktural baik dari negara maupun perusahaan, perempuan juga mengalami kekerasan dan peminggiran dari komunitas sendiri dan kerabat dekatnya (intimate exclusion). Ibu Rini melawan, terhadap ketidakadilan yang menimpanya akibat ekspansi perkebunan sawit skala besar, ia mengajak perempuan-perempuan lain di kampungnya, ia memimpin perlawanan komunitas atas kondisi yang dialaminya. Ia mengembangkan berbagai cara dalam merespon masalahnya, melakukan pengorganisiran dan berbagai bentuk perlawanan, yang semuanya bersumber dari kekuatan mereka sebagai komunitas perempuan, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk resistensi yang baru dan genuine, a la ibu-ibu di pedalaman Sanggau.

Dalam makalah ini dijelaskan juga bagaimana proses peminggiran yang terjadi, dari sudut pandang perempuan, yang digali melalui tutur perempuan (salah satu metode yang dipakai dalam studi feminis dan etnografi), berlangsung secara sistematis sehingga terjadi apa yang disebut David Harvey (2005) sebagai akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession),  dimana disposesi di tingkat mikro berlangsung melalui kombinasi berbagai cara dan aktor dengan menyingkirkan masyarakat lokal termasuk perempuan atas akses terhadap tanah dan wilayah hidupnya.

Dalam makalah ini menyebutkan, di dalam buku berjudul Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li (2011) mengartikulasikan empat faktor kuasa yang memberikan kontribusi penting dalam proses mengeksklusi pihak lain dari akses terhadap tanah di Asia Tenggara.  Keempat faktor tersebut adalah: (1) regulasi, terutama berhubungan dengan rangkaian peraturan perundangan yang ditetapkan negara; (2) pemaksaan dengan kekerasan, baik oleh negara maupun aktor non-negara; (3) pasar, yang mendorong eliminasi atau pembatasan akses atas tanah melalui mekanisme harga dan memberi insentif untuk klaim atas tanah yang lebih individualis; (4) legitimasi, mulai dari klaim pemerintah untuk melakukan pengaturan, baik dengan menggunakan rasionalitas ekonomi maupun pertimbangan politik, hingga beragam bentuk justifikasi moral yang bekerja di tingkat komunitas, seperti misalnya peran kepala adat.

Banyak kasus serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia akibat ekspansi perkebunan sawit skala besar, kisah ini selayaknya menjadi inspirasi bagi perlawanan-perlawanan lain di tingkat lokal, dan bagaimana mengajarkan bahwa berorganisasi dan berjejaring itu sangat penting untuk dilakukan. Upaya mendokumentasikan cerita perlawanan dari perspektif perempuan juga menjadi PR bagi kita semua, karena selama ini hal tersebut sangat jarang dilakukan, kalaupun ada muncul cerita tentang perempuan, itu hanya sepintas saja. Sudah saatnya perempuan mendokumentasikan bagaimana perjuangan dan perlawanan yang dilakukannya dari perspektif perempuan, sehingga akan lebih kaya dan tergali peran sesungguhnya perempuan dalam menghadapi berbagai krisis yang terjadi, karena kalau bukan perempuan sendiri yang akan menuliskannya, siapa lagi? Dan kalau bukan mulai saat ini, kapan lagi?.

****

Ekspansi Perkebunan Sawit dan Ruang Hidup yang Berubah (Review Buku)

Judul Buku: Ekspansi Kelapa Sawit di Asia Tenggara: Kecenderungan dan implikasi bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat

Editor: Marcus Colchester dan Sophie Chao

Kata Kunci: industri kelapa sawit, ekspansi, masyarakat adat

kebun sawit

Industri kelapa sawit dan minyak sawit adalah industri skala besar, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, korporasi internasional, dan sedang massif terjadi di negara-negara berkembang yang notabenenya mempunyai lahan dan iklim yang cocok untuk tumbuh kembangnya kelapa sawit. Tidak dapat dipungkiri investasi dan operasi industri minyak sawit memiliki kompleksitas yang tinggi, di negara-negara yang kelapa sawitnya tumbuh subur saat ini telah terjadi deforestasi, degradasi lingkungan, konflik lahan, konflik sosial, kerawanan kedaulatan pangan dan mata pencaharian, serta pelanggaran dan penyalahgunaan hak asai manusia yang lebih jauh (Tarigan dalam Colchester dan Chao, 2011).

Sebenarnya kesadaran bahwa di satu sisi industri ini telah menimbulkan dampak yang besar dan merugikan bagi masyarakat dan lingkungan telah ada, dibuktikan dengan ditangguhkannya seluruh pendanaan proyek minyak sawit di seluruh dunia oleh Bank Dunia antara tahun 2009 dan 2011 dan dari industri sendiri sehingga terbentuklah the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang bertujuan untuk menjauhkan  daerah perkebunan sawit dari hutan primer maupun kawasan konservasi tinggi dan melarang perampasan tanah, dan mendesakkan bahwa semua tanah hanya dapat diperoleh dengan menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, termasuk menghormati hak mereka untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas pembelian atau sewa tanah (Colhester dan Chao,2011).

Buku ini memberikan gambaran yang cukup rinci tentang perkembangan ekspansi kelapa sawit di Asia Tenggara, bagaimana kelapa sawit juga telah masuk di Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Bagaimana ternyata praktek-praktek industri kelapa sawit ini hampir sama terjadi dan berulang seperti juga prakteknya di Indonesia, hanya sedikit yang memiliki cerita agak berbeda misal seperti yang terjadi di Kamboja, karena yang boleh dialihfungsikan menjadi lahan sawit hanyalah tanah negara dan Thailand karena pengawasan mereka cukup ketat dan Vietnam karena baru akan dimulai.

Dikaitkan dengan masyarakat adat, buku ini membahas bagaimana hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang secara tradisional mereka miliki, tempati atau gunakan, dan hak untuk memberikan atau tidak memberikan keputusan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan (FPIC), yang dinyatakan lewat institusi perwakilan mereka sendiri atas tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka sering diabaikan sehingga pelanggaran atas ha-hak mereka tersebut selalu terjadi, dan hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Papua Nugini (PNG) dan negara bagian Sarawak, Malaysia.

Cerita tentang konflik lahan, perlawanan masyarakat yang muncul, represi aparat, petani sawit yang terjerat hutang, perempuan yang tersingkir dari lahannya dan kemudian menjadi buruh perkebunan yang rentan bahaya pestisida dan pupuk kimia, prostitusi di perkebunan dan meningkatnya HIV/AIDS dan PMS di kalangan buruh perkebunan perempuan menjadi satu rangkaian yang tidak putus dan kasus berkepanjangan yang belum bisa diputus mata rantainya sampai saat ini.

Untuk itu di buku ini mulai dibicarakan bagaimana menjamin agar kelapa sawit berkembang secara menguntungkan. Standar-standar sukarela dari organisasi seperti RSPO perlu didukung oleh reformasi tenurial dan tata kelola nasional yang mewajibkan persyaratan-persyaratan yang bisa menjamin hak-hak masyarakat lokal benar-benar dihormati dan dilindungi, jika tidak semua itu hanya akan menguntungkan investor, pedagang, elit nasional dan korporasi-korporasi transnasional yang rakus itu.

Harusnya negara-negara lain terutama yang baru akan memulai bisnis ini (Vietnam) dapat berkaca dengan berbagai kasus di Indonesia baik tentang konflik lahannya maupun kerusakan lingkungan akibat pembukaan perkebunan sawit skala besar ini, karena jika tidak hal yang sama akan terjadi juga pada negara tersebut. Memutus ketergantungan terhadap minyak sawit mungkin adalah hal yang berat mengingat hampir 80% produk yang digunakan manusia untuk berbagai hal dalam hidupnya berbahan dasar dari minyak sawit namun yang harus diingat adalah orientasi industri ini di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan global bukan hanya kebutuhan lokal dan nasional, sehingga permintaannya yang sangat besar dari dunia internasional mendorong alih fungsi lahan terjadi secara cepat dengan iming-iming hasilnya secara ekonomi juga menguntungkan. Mindset inilah yang mungkin bisa diubah, bagaimana sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap minyak sawit, pemenuhan yang ada hanya untuk kebutuhan lokal dan nasional, serta pengendalian harga dan penegakan hukum oleh pemerintah sehingga menanam sawit menjadi bukanlah hal yang murah dan mudah serta secara ekonomis tidak menguntungkan, jadi masyarakatpun akan berpaling dari tanaman ini (Wong).