Gerakan Perempuan Menghadapi Momentum Elektoral 2009

Pendidikan politik memang telah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri, terlebih pada saat ini ketika kesadaran bahwa gerakan perempuan mempunyai potensi gerakan yang semakin meluas maka gerakan untuk membangun kekuatan politik perempuan sudah tidak bisa ditunda lagi dan diharapkan ini akan menjadi salah satu alternatif dalam mencari penyelesaian untuk beragam permasalahan yang dihadapi oleh bangsa , terutama yang berdampak sangat besar terhadap perempuan seperti kenaikan harga yang membuat perempuan harus lebih bekerja keras, memutar otak untuk tetap melanjutkan hidupnya dan keluarganya.

Akan tetap gerakan perempuan sendiri mengalami perbedaan yang cukup mendasar dalam memandang momentum elektoral 2009, di bagian lain terdapat kelompok gerakan perempuan yang aktif mendorong perempuan berpolitik praktis dan memperjuangkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, namun di kelompok lainnya terdapat pandangan yang melihat bahwa jika masih dalam sistem demokrasi liberal maka kuota maupun keterwakilan perempuan seperti apapun tetap tidak akan menjadi faktor pengubah dominan karena tetap akan berhadapan dengan sistem yang meminggirkan perempuan.

Berikut akan dijabarkan dua pandangan gerakan perempuan tersebut dan strategi taktik apa saja yang telah dilakukan dan pencapaiannya saat ini, diharapkan dengan adanya diskusi kedepan maka dapat dirumuskan sebuah pandangan dan sikap yang lebih tegas dan jelas dalam melihat momentum politik elektoral 2009.

Kelompok Perempuan Memperjuangkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Pasca pemilu 1999, sebagian kelompok perempuan bersinergi dengan perempuan di Partai Politik pada tahun 2000 mendirikan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) dan Kaukus Perempuan Politik Indoenesia (KPPI), kedua kelompok ini memperjuangkan revisi paket UU Politik yang akan memberi jaminan hukum untuk membuka peluang upaya peningkatan keterwakilan melalui affirmative action minimal 30% keterwakilan perempuan di tingkat kepengurusan, pencalonan jadi dll. Setelah melakukan upaya lobby dan advokasi secara terus menerus dari 3 paket UU Politik yang direvisi hanya UU Pemilu dengan mengakomodir kata “dapat” dalam pasal 65 ayat (1) UU Pemilu No.12/2003.

Pengalaman pemilu 2004 lalu memberi pelajaran dan evaluasi penting yakni selain lobby juga harus dilakukanpenguatan dalam mempersiapkan materi untuk usulan perubahan tersebut. Sehingga hasilnya dalam UU Pemilu 2009 ini telah mencantumkan “minimal 30% perempuan dalam kepengurusan Parpol”, walau baru hanya ditingkat kepengurusan nasional sementara untuk kepengurusan di tingkat propinsi sampai kecamatan akan bergantung pada AD/ART yang dapat dirubah dalam kongres/musyawarah Parpol.

Target, strategi dan hal yang masih terus dilakukan saat ini adalah :

* Kemajuan dalam jaminan hukum untuk “calon jadi” minimal 30% keterwakilan perempuan

* Pemberlakukan sistem pemilu yang lebih mudah bagi caleg perempuan

* Revisi UU Susduk harus mempertimbangkan keterwakilan perempuan masuk dalam setiap alat kelengkapan parlemen

* Melakukan kontrak politik dengan caleg perempuan untuk mengusung isu strategis seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan politik yang akan menjamin penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Hasil Revisi UU Partai Politik, yang kemudian dicantumkan menjadi UU No. 2 tahun 2008

1) 1. Bab II: Pembentukan Partai Politik

Ayat (2): Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan

2) 2. Bab V: Tujuan dan Fungsi

Ayat (1) bagian e: Rekruitment politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender.

3) 3. Bab IX: Kepengurusan

Pasal 20: Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing

4) 4. Bab XIII: Pendidikan Politik

Pasal 31, isinya tentang pendidikan politik oleh partai politik hendaknya tetap memperhatikan 30% keterwakilan perempuan agar dapat mengimbnagi adanya permintaan kesetaraan dibidang kepengurusan dan rekruitmen lain sehingga tersedia SDM perempuan yang secara kuantitas dan kualitas terpenuhi.

5) 5. Bab XX: Ketentuan Peralihan

Pasal 51 ayat (1): Partai Politik yang menurut UU No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badab hukum oleh Menteri tetap diakui keberadaannya.

6) 6. DIM No.227

“Partai politik yang dapat memenuhi ketentuan mengenai 30% keterwakilan perempuan di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota maka bantuan APBN/APBD-nya diberikan 2 (dua) kali dari jumlah kursi perempuan yang diperoleh.

Kelompok Perempuan Menyikapi Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme

Sudah Sepuluh tahun reformasi, saat ini kita berada dalam ruang “keterlibatan dan keterwakilan” golongan termasuk untuk perempuan, melalui UU Parpol dan Pemilu. Affirmative action 30% telah menjadi angka sakral bagi program pengarusutamaan gender di eksekutif, legislatif maupun partai politik. Hal ini berarti demokrasi keterlibatan dan keterwakilan hanya terjadi di ruang legislatif, ditangan merekalah nasib Indonesia dipertaruhkan apakah kemudian menjadi agen neoliberal atau akan berpihak pada kepentingan rakyat.

Dan kita melihat sendiri bagaimana kemudian wakil-wakil rakyat ini telah menjadi agen dengan mengeluarkan berbagai produk undang-undang yang membuka Indonesia untuk sebebas-bebasnya dimasuki oleh modal asing baik itu disektor hulu maupun hilir dari industri di Indonesia, dari masalah pertambangan, energi, air, kehutanan dan banyak lagi, privatisasi yang telah menjadi skenario global dimuluskan langkahnya, proses mengadaikan Indonesia telah dilakukan secara lebih cepat oleh para wakil rakyat ini, apakah orang-orang seperti ini yang akan kita pilih (lagi) dalam pemilu 2009?

Ilusi demokrasi dan good governance yang dikampanyekan besar-besaran dengan indikator transparansi, akuntabilitas dan partisipatif sayangnya juga banyak diamini oleh kelompok Non Government Organisation (NGO) yang kemudian berkolaborasi dengan para wakil rakyat ini dan lagi-lagi mengatasnamakan rakyat yang sesungguhnya hanyalah menjadi alat bagi neoliberalisme untuk semakin menancapkan kukunya dalam berbagai ranah kehidupan kita.

Demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dipgang oleh rakyat dan dijalankan secara langsung atau lewat perwakilan terpilih. Akan tetapi fenomenanya saat ini kita melihat implementasi dari demokrasi secara umum lebih menyiratkan pada pemerintahan mayoritas, hak-hak minoritas dan individu, persamaan kesempatan, kesetaraan didepan hukum, hak sipil dan kebebasan. Demokrasi liberal sendiri merupakan pemerintahan yang dicirikan oleh pilar kembar lembaga demokratis, disatu sisi (pemilu, DPR, check and balance, pemberitaan media yang berimbang) dan perlindungan demokratis disisi lain (kebebasan pribadi dijamin oleh UU hak asasi manusia). Demokrasi liberal biasanya dianut oleh negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis dan negara yang menekankan hak kepemilikan perorangan. Pendekatan ini mendahulukan hak individu diatas kehendak umum. Untuk kasus Indonesia sendiri selain berkiblat pada demokrasi liberal kita juga menganut demokrasi perwakilan yakni merupakan bentuk pemerintahan yang didalamnya legislatif dijalankan oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat, dimana mayoritas mendelegasikan kekuasaannya kepada sejumlah kecil minoritas yang dinominasikan untuk memerankan kepentingan mereka. Minoritas tersebut diberi amanat untuk melakukan hal tersebut baik untuk merespon harapan mayoritas atau merespon penilaian para perwakilan sendiri.[1]

Lalu bagaimana dengan perempuan sendiri, dalam era neoliberal ini menurut Ruth Indiah Rahayu, pembagian kerja secara seksual terjadi dengan perempuan benar-benar ditata hanya sebagai konsumen, pengasuh dan pemelihara tenaga kerja, pengatur sirkulasi uang kontan dan alat distribusi. Pendayagunaan perempuan secara eksploitatif berjalan perlahan dan halus hingga kaum perempuan terperdaya dan menjadi pendukung tanpa punya pilihan lain. Karena peranannya sebagai tiang penyangga ekonomi liberal, maka dibidang politik kaum perempuan diberi keterwakilan sebesar 30% dan ditingkat massa kaum perempuan diberi ruang untuk terlibat dalam proses politik terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan reproduksi sosial, terutama kesehatan dan pendidikan, sedangkan pada posisi politik tertentu, kaum perempuan cukup diterwakilkan oleh elit perempuan. Acapkali terputus kepentingan antara massa kaum perempuan dengan keterwakilan perempuan dari tingkat elit yang menduduki posisi politik tertentu. Sehingga dapat diartikan pengertian sejati dari keterwakilan perempuan bukanlah terletak pada aspirasi dan kepentingan kaum perempuan yang menjadi buruh, petani, nelayan, miskin kota, dll melainkan keterwakilannya adalah figurnya dan tubuhnya yang berwujud perempuan.[2]

Jadi hal yang lebih perlu untuk dilakukan kaum perempuan dalam memandang pesta demokrasi, momentum politik elektoral 2009 nanti adalah:

1. Konferensi gerakan yang mengamanatkan gagasan2x dan tuntutan2 x politik (terutama terkait dengan isu politik perempuan) yang harus dimenangkan dalam momentum elektoral

2. Pendidikan politik kepada calon pemilih tentang perubahan politik yang bisa menghapuskan situasi penindasan perempuan di era neoliberalisme. Pendidikan politik yang termasuk di dalamnya memungkinkan calon pemilih membuat “pilihan yang tepat” dalam momen elektoral 2009.

3. Sinergi kelompok perempuan dengan elemen gerakan sosial lainnya agar semua yang dilakukan oleh para politisi perempuan itu tidak mengalami keterputusan dari tingkat basisnya.


[1] Lisa VeneKlasen dan Valerie Miller, Pertalian Baru Atas Kekuasaan, Rakyat, dan Politik, Panduan Aksi Bagi Advokasi dan Partisipasi Masyarakat, Garis Perjuangan, Bandung, 2002.

[2] Ruth Indiah Rahayu, Pembagian Kerja Secara Gender Dalam Neoliberalisme, diskusi di PRP, 2007

One thought on “Gerakan Perempuan Menghadapi Momentum Elektoral 2009

  1. Nyatanya bangsaku lebih maju dibidang gender dibandingkan negara super power Amerika Serikat. Indonesia sudah pernah mempunyai wakil presiden dan presiden dari perempuan, Paman Sam baru sebatas kandidat ‘wakil presiden’ dari salah satu partai politik. Kaum perempuan Indonesia, syukurilah kepercayaan ini untuk memotivasi tugas yang berat dan bakal dihadapi oleh negeri kita, Indonesia.

Leave a comment